Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pada Abad ke-9 Seniman Jalanan Memperoleh Honorarium dan Membayar Pajak

19 Maret 2022   15:50 Diperbarui: 20 Maret 2022   08:33 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nekara perunggu (Sumber: Museum Nasional)

Bilamana seni musik dikenal di Nusantara, tampaknya belum bisa kita gambarkan secara lengkap. Biasanya para peneliti atau pakar mengacu pada dua sumber, yakni sumber tertulis (prasasti, kakawin, dan naskah) dan sumber tak tertulis (relief candi dan temuan arkeologis).

Menurut bacaan para epigraf, yakni orang yang ahli membaca prasasti, sejumlah prasasti menyebutkan adanya alat musik. Dari situlah kita mengenal alat musik Nusantara. Gambaran yang lebih jelas diperoleh dari relief (gambar timbul) pada candi, utamanya pada Candi Borobudur.

Di situ antara lain terpahat suling, simbal, lute, ghanta, sangkha, saron, dan gendang. Sebagian terbesar merupakan bagian dari panel cerita Karmawibhangga. Beberapa adegan menggambarkan para pemusik jalanan sehabis menghibur penonton.

Selain relief candi, adanya alat musik juga diketahui dari sejumlah temuan arkeologis. Yang paling tua berupa nekara, semacam dandang besar dari perunggu.

Nekara berasal dari masa prasejarah. Sekadar gambaran, masa awal sejarah Nusantara dimulai sekitar abad ke-5 M, yakni sejak ditemukannya prasasti batu di Kalimantan Timur.

Peninggalan arkeologis lain berupa arca Wajragiti dari perunggu. Arca ini ditemukan pada 1913 di Jawa Timur.

Wajragiti merupakan salah satu pemain musik di surga yang pandai memainkan harpa. Kini nekara dan arca Wajragiti menjadi koleksi Museum Nasional.

Diperkirakan, pada masa lampau seni musik benar-benar merakyat. Setiap ada pertunjukan musik, masyarakat selalu berbondong-bondong menonton.

Salah satu relief Karmawibhangga, misalnya, menampilkan seorang bapak mengangkat anaknya tinggi-tinggi, agar dia bisa melihat jelas pertunjukan tari dan musik dari kejauhan (Roosenani, 1981).

Nekara perunggu (Sumber: Museum Nasional)
Nekara perunggu (Sumber: Museum Nasional)

Honorarium dan pajak

Penggunaan alat musik di kalangan rakyat dan bangsawan di Jawa pada masa lampau, biasanya terdapat dalam beberapa prasasti yang dikeluarkan seorang pejabat sehubungan dengan upacara peresmian sima.

Sima adalah tanah yang dicagarkan. Prasasti Gandasuli II (827 M), Waharu (873 M), Kuti (840 M), dan Sri Kahulunan (842 M) sampai kini masih dianggap sumber tertua yang menyebutkan adanya alat musik. 

Dalam prasasti-prasasti itu antara lain diungkapkan bahwa tidak sembarang orang boleh memainkan curing (suling). Diisyaratkan, yang diperkenankan membunyikannya hanya orang-orang yang mendapatkan anugerah raja atau hak-hak istimewa.

Dikatakan lagi, pemain curing yang telah memperoleh izin raja, boleh memainkan alat musik itu semalam suntuk hingga dua hari dua malam, atau siang dan malam hari. Dibayar atau tidaknya para pemain musik itu, kita tidak tahu. Keterangan yang lebih jelas diperoleh dari Prasasti Lintakan (919 M).

Menurut prasasti ini, pemain musik tuwung dan regang mendapatkan imbalan atau hadiah. Entah berapa besar hadiah yang mereka terima.

Honorarium untuk pemain musik disebutkan oleh Prasasti Julah (987 M) dari Bali. Pada bagian awal, prasasti itu menginformasikan adanya beberapa rombongan seni, baik i haji (untuk raja) maupun ambaran (keliling) yang datang ke desa Julah.

Pada bagian selanjutnya dikatakan para seniman mendapatkan upah atas hasil jerih payah mereka. Imbalan untuk agending i haji sebesar satu masaka, sedangkan untuk agending ambaran dua kupang.

Yang unik prasasti Tejakula dari zaman pemerintahan Ragajaya, memuat keterangan bahwa setiap rombongan seni harus membayar pajak kepada para kepala desa Labapura.

Dikatakan, perkumpulan gamelan galunggung ptung, selunding wsi, dan calung di desa harus membayar pajak tikasan. Bila selunding, pajaknya satu ma setiap perkumpulan. Membayar pajak ternyata harus dilakukan juga oleh seniman jalanan pada zaman dulu.

Lihat beberapa tulisan sebelumnya tentang musik zaman dulu

[Musik zaman dulu 1]
[Musik zaman dulu 2]

Rakyat jelata dan bangsawan

Adanya alat musik juga disebutkan dalam sejumlah kakawin dan naskah kuno. Kakawin Ramayana antara lain melukiskan adanya suling, lute, bar-zither, gendang bercela, sangkha, dan terompet.

Lain lagi berita dinasti Ming (1368-1644) dari Tiongkok. Sumber ini menyebutkan bahwa penduduk Majapahit mempunyai kebiasaan bermain musik di saat bulan purnama.

Kelompok wanita yang terdiri atas 20-30 orang itu bergandengan tangan mendatangi rumah-rumah sanak saudara atau orang-orang kaya. Mereka menyanyikan lagu-lagu daerah, lalu mendapatkan upah. Demikian diungkapkan Sejarah Nasional Indonesia II dan Kamus Arkeologi II.

Musik dikenal di semua lingkungan. Ada satu jenis alat musik yang dimainkan sendiri untuk menghibur diri. Ada pula sejumlah alat musik yang merupakan satu ansambel dan dimainkan secara bersama-sama oleh beberapa orang.

Musik ini dipergunakan dalam bermacam-macam suasana, seperti pengiring tarian, upacara keagamaan, dan untuk menunjukkan suatu kebesaran atau lingkungan.

Dari sumber sejarah diketahui, tidak setiap jenis alat musik dikenal setiap lingkungan. Lute dan bar-zither tidak pernah terdapat di kalangan rakyat jelata. Di kalangan bangsawan hanya dikenal simbal mangkok atau simbal genta.

Kala itu fungsi penggambaran musik adalah untuk menyemarakkan acara dan mengiring arak-arakan.

Sedangkan guna musik adalah sebagai bagian dari upacara, sebagai sarana untuk bersenang-senang, sebagai pelengkap kebesaran seseorang, sebagai penyemarak suasana, dan sebagai pengiring tarian.

Pada zaman dulu seniman-seniman yang ada adalah pamukul (pemain gamelan), abonjing (pemain angklung), bhangsi (peniup suling), pasangkha (peniup terompet), dan parpadaha (pemain gendang). Beberapa istilah lain belum teridentifikasi sehingga kita belum tahu apa profesi mereka.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun