Arkeologi atau ilmu purbakala boleh dibilang merupakan disiplin ilmu yang paling banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat awam dan media. Baru-baru ini ketika arkeolog Mesir menemukan 20 peti mati kuno dekat kota Luxor, berita tersebut muncul di media elektronik, media daring, dan media cetak Indonesia.
Berbagai cerita kontroversial dan fantastik menjadi bumbu yang menarik. Dikatakan pada peti mati masih terlihat hiasan warna-warni. Bahkan di dalam peti mati ada patung Firaun. Â Peti mati itu terkubur dalam dua lapisan, yang sebagian terletak di atas sebagian lain. Disebutkan pula penemuan itu merupakan "salah satu yang terbesar dan terpenting" dalam beberapa tahun terakhir.
Hampir bersamaan dengan berita dari Mesir, muncul berita tentang penemuan harta karun yang diduga peninggalan kerajaan Sriwijaya di Ogan Komering Ilir (OKI). Harta karun tersebut menjadi rebutan masyarakat. Penemuan tidak terduga itu terjadi setelah masyarakat menggali kawasan hutan dan lahan yang terbakar. Â Banyak perhiasan emas dan benda bersejarah dari kawasan itu dijarah masyarakat yang datang berbondong-bondong ke sana.
Meskipun instansi arkeologi turun tangan, namun mereka kalah cepat. Sebagian besar benda kuno sudah berpindah tangan. Bahkan ada yang sudah dijual ke pengepul dan kolektor barang antik. Dari hasil penelitian arkeologi, memang diketahui lokasi tersebut merupakan permukiman lama sejak awal Masehi. Berita itu pun viral di media sosial.
Penafsiran
Selain berita penemuan yang dianggap fantastik oleh media, sejak lama banyak terdengar pula berita-berita yang nyeleneh. Anehnya, berita seperti itu menjadi 'makanan empuk' media. Selama berhari-hari media terus saja memunculkan penafsiran yang ngaco itu.
Tentu kita masih ingat akan teori Candi Borobudur dibangun oleh Nabi Sulaiman yang dikemukakan seorang 'pakar'. Berbagai komunitas ilmiah mengecam teori tersebut karena dipenuhi cerita fiktif, misalnya stupa yang dibawa terbang dan Sulaiman yang menjadi asal nama kota Sleman. Juga tentang Negeri Saba yang bukan di Timur Tengah tetapi di Jawa Tengah, sebagaimana menjadi nama kota Wanasaba atau Wonosobo sekarang.
Belum habis soal Borobudur, muncul lagi 'pakar' lain yang menyebutkan Sriwijaya sebagai kerajaan fiktif dan menghubungkannya dengan bajak laut. Bahkan ia menyalahkan kalangan arkeologi yang salah baca terhadap Prasasti Kedukan Bukit. Â Prasasti tersebut dipahat dalam bahasa Melayu Kuno tapi dianggap bahasa Armenia. Padahal isi prasasti sudah dialihaksarakan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Media dan masyarakat
Media dan masyarakat memiliki sisi baik dan ada sisi buruk. Media membutuhkan berita 'unik' dan 'menarik' atau asal 'rating' tinggi. Bahkan media mempromosikan sang 'pakar' secara gratis. Sebaliknya, kalangan arkeologi juga butuh pemberitaan. Percuma ada penemuan besar atau aktivitas besar, seperti purna pugar Candi Borobudur, kalau tidak diberitakan. Pemberitaan yang baik bisa jadi akan menumbuhkan apresiasi dari masyarakat terhadap kepurbakalaan.
Sayang selama ini media lebih tertarik kepada hal-hal berbau kontroversial, fantastik, dan unik. Jarang sekali ada media, misalnya, yang menuliskan temuan pecahan-pecahan keramik kuno dari suatu situs. Padahal di kalangan arkeologi, temuan pecahan keramik dan keramik utuhan merupakan data arkeologi yang amat berharga. Keduanya sama-sama bisa memberikan pertanggalan untuk temuan lain karena keramik memberikan pertanggalan mutlak. Bahkan pecahan keramik bisa memberikan informasi tentang kandungan bahan pembuatan keramik, yang tidak dimiliki oleh keramik utuhan.
Masyarakat pun terbagi atas beberapa golongan. Yang mencuat adalah masyarakat yang ultra nasionalis. Mereka menafsirkan banyak hal yang dikatakan berasal dari Nusantara dan dari agama tertentu. Padahal, sebagaimana kenyataan, tinggalan-tinggalan arkeologi yang tergolong adikarya berasal dari masa klasik atau Hindu-Buddha. Mereka pun menggabungkan penafsiran dengan cerita-cerita fiktif, termasuk wangsit dan harta karun.
Pseudo-archaeology atau arkeologi semu bukan hanya terjadi di sini. Di mancanegara pun hal serupa sudah muncul sejak lama, terlebih sejak beredarnya cerita fiksi ilmiah yang mengambil latar kepurbakalaan oleh Erich von Daniken. Ditambah munculnya film-film bioskop tentang Indiana Jones.
Di pihak lain, ada 'pakar' yang memberi penafsiran terhadap kepurbakalaan di luar nalar atau logika ilmiah. Mereka kerap disebut arkeolog dukun atau pakar cocoklogi. Artinya dicocok-cocokkan saja, benar salah urusan belakangan. Misalnya terhadap kata Sulaiman menjadi Sleman atau Saba menjadi Wanasaba (Wonosobo) sebagaimana disebutkan di atas.
PemahamanÂ
Mengapa media dan masyarakat selalu tertarik kepada hal-hal kontroversial seperti itu, bisa jadi karena kalangan arkeologi kurang terbuka atau kurang memberi informasi. Selama ini jarang sekali ada publikasi populer mengenai kearkeologian atau kepurbakalaan. Akibatnya pemahaman masyarakat mengenai masa lampau sangat rendah. Jangan heran kemudian muncul 'teori-teori semrawut' seperti itu. Â Selain teori, mereka juga sesekali melakukan penggalian liar atau penyelaman liar untuk membuktikan teori mereka sekaligus menjual temuan-temuan mereka.
Jadi ada tiga golongan masyarakat yang harus diberi pemahaman tentang kearkeologian yang benar. Pertama, masyarakat yang kerap mengeluarkan 'teori-teori' tentang masa lampau. Ironisnya, 'pakar' yang mengeluarkan teori yang di luar nalar dan logika itu, memiliki banyak pengikut. Kedua, masyarakat yang melakukan penggalian liar atau penyelaman liar. Â Mengingat sudah adanya Undang-undang Cagar Budaya 2010, tentu saja perbuatan melawan hukum itu bisa dikenakan pidana. Ketiga, media yang melakukan berita kontroversial. Memang tiras meningkat dan rating tinggi, namun media tersebut ikut memberikan pemahaman yang keliru terhadap ilmu arkeologi.
Arkeologi jangan hanya mengurusi lapangan. Publik pun harus mendapat perhatian, apalagi telah berkembang subdisiplin Arkeologi Publik. Arkeologi Publik tidak berurusan dengan penggalian atau hal-hal ilmiah, tapi berhubungan dengan aktivitas masyarakat.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H