Sejarah di Nusantara telah berjalan amat panjang, yakni sejak ribuan tahun lalu. Sepanjang itu pula mereka telah berdiam di sini. Mereka bertempat tinggal di mana saja, di tepi pantai hingga di tengah hutan. Yang jelas, mereka bermukim di dekat air. Bisa di dekat sungai, bisa di dekat danau, dsb.
Ketika itu tentu banyak bencana alam menerpa mereka. Gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, banjir, dan longsor, ganti-berganti selama ribuan tahun itu. Bisa jadi berkali-kali letusan gunung berapi menimbun wilayah mereka, termasuk harta benda mereka.
Ratusan tahun kemudian, orang masa kini menempati wilayah-wilayah yang dianggap kosong. Jangan heran ketika sedang menggali tanah, mereka menemukan benda yang dianggap aneh. Â Benda itulah yang disebut benda purbakala atau tinggalan arkeologis, atau menurut istilah orang awam benda kuno.
Sejak lama memang penemuan-penemuan arkeologi berawal dari aktivitas warga secara kebetulan. Misalnya ketika sedang menggarap sawah, membangun pondasi rumah, menggali sumur, menambang pasir, dsb. Untung saja mereka jujur. Penemuan-penemuan tersebut mereka laporkan ke pemerintah desa setempat atau langsung ke Balai Pelestarian Cagar Budaya. Â Â
Tentu saja laporan-laporan itu ditindaklanjuti. Pertama, dengan melakukan analisis penilaian benda temuan. Analisis dilakukan oleh tim dari latar belakang berbagai disiplin ilmu. Bisa jadi kemudian dilakukan ekskavasi penyelamatan agar ada konteks temuan yang dapat memperkaya narasi sejarah Nusantara.
Analisis fisik
Penilaian dilakukan dengan cara analisis fisik dan konteks temuan. Juga penilaian sejarah dan perbandingan dengan benda-benda temuan lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi penilaian antara lain kuantitas, nilai penting, dan kelangkaan. Dari hal-hal inilah tim penilai menentukan besarnya imbalan atau kompensasi. Jelasnya berdasarkan nilai intrinsik benda ditambah nilai penting, dengan mempertimbangkan kejujuran dan yuridis.
Sering kali sepotong benda kecil menjadi petunjuk ditemukan candi. Candi Sambisari yang sekarang indah dan candi 'unik' karena berada di bawah permukaan tanah, terkuak karena mata cangkul seorang warga mengenai sebuah batu berukir. Setelah dilakukan ekskavasi, terbukalah bentuk candi.
Penilaian benda temuan merupakan salah satu bentuk upaya pelestarian. Tujuan penilaian untuk mengetahui apakah benda itu Obyek Diduga Cagar Budaya (ODCB) ataukah bukan.Â
Dalam Undang-Undang Cagar Budaya 2010 memang dinyatakan setiap orang yang menemukan Cagar Budaya wajib melaporkannya kepada instansi yang berwenang di bidang kebudayaan, pihak kepolisian, atau instansi terkait paling lama 30 hari sejak ditemukannya.
Pemberian hadiah atau imbalan uang juga mengacu kepada KUHP. Dikatakan, hak milik atas harta karun ada pada orang yang menemukannya di tanah miliknya sendiri. Bila harta itu ditemukan di tanah milik orang lain, maka separuh milik yang menemukan, separuh lagi milik si pemilik tanah.
Pada tahun anggaran 2021, Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana buletin Narasimha No. 14/XIV/2021, telah memberikan kompensasi kepada penemu/pemilik lahan struktur batu, fragmen arca, dan fosil mamalia.
Pemberian kompensasi berupa piagam dan uang, dimaksudkan sebagai ujud apresiasi kepada masyarakat yang turut menyelamatkan cagar budaya. Semoga hal ini memacu masyarakat untuk ikut berperan serta dalam pelestarian cagar budaya.*** Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H