Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karena Dikenal Masyarakat Lewat Tulisan, Saya Dapat Gelar Prof

7 Maret 2022   08:11 Diperbarui: 7 Maret 2022   08:20 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
K-rewards Februari 2021 dan Maret 2021 (Dokpri)

Segala sesuatu yang dilakukan tentu ada enaknya dan tidak enaknya. Begitu juga dalam hal dunia tulis-menulis. Terutama yang berkaitan dengan arkeologi dan museum. Bayangkan kalau tulisan kita ditunggu-tunggu orang dan dikutip berbagai media.

Saya terpanggil menulis karena banyak artefak arkeologi mendapat perlakuan buruk dari masyarakat, termasuk pemerintah. Ada yang melakukan penggalian liar untuk mencari benda antik dari dalam tanah. Ada yang melakukan penyelaman dari dalam sungai/laut untuk mencari harta karun. Ada yang mencuri dari candi, terutama dari lokasi yang sulit pengawasan. Ada yang mencuri koleksi museum. Ada yang membangun sarana fisik (jalan tol, bendungan) tanpa melalui kajian arkeologi. Pokoknya banyak dampak negatif yang dialami artefak arkeologi, baik dari situs maupun museum.

Blog pribadi saya di wordpress tentang arkeologi dan museum (Dokpri)
Blog pribadi saya di wordpress tentang arkeologi dan museum (Dokpri)

Terpanggil

Namanya terpanggil, menulis ibarat bekerja dengan hati. Dulu kalau saya menulis, terlebih kalau dimuat media cetak, tentu saya mendapatkan honorarium. Waktu itu saya menulis arkeologi, museum, dan lainnya. Namanya sudah sering menulis, yah seperti palugada, apa lu mau gua ada.

Namun setelah media cetak mulai surut, terdesak oleh media daring yang cepat tayang, maka saya pun melakukan adaptasi. Saya menulis di blog pribadi dan blog publik. Blog pribadi saya ada di https://hurahura.wordpress.com untuk arkeologi dan https://museumku.wordpress.com untuk museum. Untuk blog publik saya menulis di kompasiana.com milik Kompas dan di indonesiana.id milik Tempo. Di sini tidak mendapat honorarium, paling-paling rewards berdasarkan pageview. Ironisnya, tulisan arkeologi dan museum, jarang sekali dibaca orang. Bisa dilihat dalam sebulan saya hanya mendapatkan puluhan ribu rupiah.

K-rewards Februari 2021 dan Maret 2021 (Dokpri)
K-rewards Februari 2021 dan Maret 2021 (Dokpri)

Sebagai pejuang mandiri, artinya tidak mendapatkan gaji, uang pensiun, dsb, sebagaimana arkeolog-arkeolog yang bekerja di instansi pemerintah, tentu jumlah puluhan ribu terasa sangat kecil. Seperti pencanangan pemerintah untuk museum, "Yang penting benefit (manfaat), bukan profit (keuntungan finansial)".

Dalam masa pandemi, banyak instansi arkeologi dan museum, terutama milik pemerintah sering melakukan kegiatan webinar lewat aplikasi Zoom. Saya sering ikut kegiatan-kegiatan itu lalu menuliskannya di Kompasiana.

Belakangan mengikuti kegiatan Zoom saya kurangi. Pertama, karena pinggang saya sakit. Bayangkan untuk Zoom perlu waktu sekitar 2 jam, lalu untuk menulis 1 jam. Kedua, karena saya memakai kuota internet. Demi penghematan tentu harus selektif memilih acara Zoom.

Bergabung di Kompasiana sejak 2016, sampai hari ini menghasilkan 1.019 tulisan (Dokpri)
Bergabung di Kompasiana sejak 2016, sampai hari ini menghasilkan 1.019 tulisan (Dokpri)

Arkeolog harus menulis

Meskipun berpendidikan arkeologi, saya tidak menguasai segala permasalahan dalam arkeologi. Saya hanya paham sebatas permukaan. Kebetulan saya hobi membaca karena koleksi buku saya cukup banyak. Karena tahu sedikit, tentu tulisan populer lumayan ampuh untuk memberi apresiasi kepada masyarakat. Yang penting gaya bahasa tulisan luwes dan tidak bertele-tele.

Tidak heran, saya lebih dikenal masyarakat daripada arkeolog-arkeolog dari instansi pemerintah. Saya sering dipanggil Prof. karena mereka sering bertanya dan saya selalu menjawab pertanyaan mereka. Mungkin kalau bertanya ke arkeolog-arkeolog di instansi pemerintah, belum tentu mereka segera mendapat jawaban. Bahkan mungkin akan dicuekin.

Lebih lengkap saya mendapat gelar Prof. Djulianto S. Kom. Bukan Profesor, bukan pula Sarjana Komputer, tetapi Profil Djulianto Susantio Kompasiana, hehehe...

Prof. Djulianto S. Kom, hehehe (Dokpri)
Prof. Djulianto S. Kom, hehehe (Dokpri)

Seharusnya arkeolog yang bekerja di institusi arkeologi yang melakukan penulisan. Mereka lebih paham dan tahu lebih spesifik. Sayang langka sekali arkeolog mampu menulis populer.

Di Kompasiana saya lihat baru Mas Han yang termasuk rajin menulis. Beliau arkeolog peneliti. Pernah di Maluku, lalu pindah ke Sulawesi Utara. Mas Han banyak menulis pengalaman lapangan dan gagasan-gagasan untuk arkeologi.

Sebenarnya ada beberapa arkeolog lain yang punya akun Kompasiana. Sayang mereka kurang aktif.

Untuk menulis kuncinya 'mampu' dan 'mau'. Saya yakin banyak arkeolog mampu, toh mereka berpendidikan sarjana, magister, doktor, bahkan profesor. Hanya kemauan yang diperlukan, apa mau berbagi ke masyarakat tanpa honorarium.

Di antara seabreg-abreg arkeolog, mungkin saya yang paling sering membumikan arkeologi dan museum. Saya menulis sejak 1980-an di media cetak. Di Kompasiana saya sudah menulis lebih dari 1.000 kali, mayoritas tentang arkeologi dan museum.

Saya sulit menduga mengapa para arkeolog enggan menulis populer. Menulis ilmiah populer pun enggan. Saya lihat hanya Bambang Budi Utomo yang sering menulis ilmiah populer dan membagikannya kepada masyarakat lewat Facebook. Bambang adalah pensiunan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Sambil menikmati masa pensiun, ia sering berbagi tulisan. Tulisan dalam Facebook itu, banyak dibagikan lagi. Apalagi teman-teman Bambang, bukan hanya dari kalangan arkeologi. Ada mahasiswa sejarah dan pendidikan sejarah. Ada komunitas pelestari sejarah dan budaya, dan masih banyak lagi.

Sejak lama saya dan Pak Bambang dikenal sebagai "Guru arkeologi buat masyarakat". Apalagi saya sering membagikan buku kepada masyarakat lewat kegiatan KUBU (KUis BUku) dan GEMAR (GErakan Menulis ARkeologi), sebagaimana tulisan [yang ini] dan [yang itu]. Sayang sejak pandemi kedua kegiatan terhenti karena saya terkendala dana. Maklum penghasilan menurun drastis. 

Baca juga [tulisan ini].

Betapa pun saya---dan tentu saja Pak Bambang---akan tetap berbagi tulisan. Niat menulis kami memang sebagai sedekah dan mencegah pikun. Soalnya menulis merupakan cara melatih otak agar tetap sehat. Otak dan hati sangat diperlukan untuk berbagi.

Semoga ada idealisme di antara para arkeolog muda. Menulislah konten positif yang informatif, edukatif, dan mencerdaskan masyarakat.***

 

    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun