Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi demikian pesat. Dampaknya sangat dirasakan di seluruh dunia. Ada 'sesuatu' yang hilang, ada pula 'sesuatu' yang muncul. Pekerjaan yang dulu dilakukan secara manual, misalnya, kini dilakukan secara elektrik. Bukan saja semakin cepat, tetapi semakin rapi dan indah.
Tadinya pekerjaan kantor menggunakan mesin tik manual, lalu mesin tik elektrik, kini digantikan komputer dengan segala perlengkapan dan kecanggihannya. Hingga saat ini komputer dengan berbagai fitur terus saja bermunculan. Di balik itu mesin tik manual dan mesin tik elektrik semakin ditinggalkan. Bisa dipastikan tidak lama lagi generasi mendatang tidak bakal mengenal lagi mesin tik.
Begitu juga telepon. Dulu telepon amat diandalkan untuk berbagai keperluan informasi dan komunikasi di rumah, tempat usaha, atau kantor. Pada awalnya, nomor telepon di Jakarta terdiri atas 4 angka. Saya lihat pada iklan-iklan perusahaan yang terdapat pada majalah keluaran 1950-an. Sedikit demi sedikit jumlah angka semakin bertambah. Pada 1970-an keluarga saya memiliki telepon rumah dengan 5 angka. Berarti semakin banyak warga memiliki telepon. Saat ini telepon sudah memiliki 7 angka, bahkan 8 angka.
Pengalaman saya karena pernah diajak ke kantor telepon di Jalan Matraman Raya, di situlah keluarga mendaftar telepon. Di situ pula tempat pembayaran biaya langganan. Saya harus ke sana setiap bulan. Pada era modern, pembayaran bisa lewat kantor pos atau bank, bahkan melalui online.
Cukup merepotkan terasa juga. Pernah ada telepon masuk ingin bicara dengan tetangga sebelah rumah. Kami memanggilkan dengan waktu cukup lama. Tentu si penelepon harus membayar biaya lebih tinggi.
Karena kebutuhan, kemudian pemerintah memasang telepon umum. Selain itu berdiri pula wartel (Warung Telekomunikasi). Warga yang mau telepon bisa mendatangi telepon umum dengan memasukkan koin atau kartu. Bisa juga ke wartel. Biaya telepon di wartel tergantung berapa lama kita berbicara. Nanti akan keluar struk dari alat khusus yang dimiliki wartel.
Dulu namanya telepon putar. Artinya kalau kita hendak menelepon ke nomor 12345, maka kita memutar 1 terlebih dulu mencapai batas akhir. Kemudian disusul 2, 3, 4, dan 5. Namun kemudian muncul telepon pencet atau tekan. Jadi si penelepon menekan 1, 2, 3, 4, dan 5. Dengan demikian waktu untuk menghubungi si penelepon lebih cepat.
Sebelum telepon putar dikenal telepon engkol. Saya tidak mengalami, jadi tidak bisa bercerita.Â
Bentuk telepon terus berkembang, misalnya ada yang memiliki extension. Biasanya ini untuk pemakaian di kantor. Akhirnya muncul telepon genggam atau telepon seluler (ponsel). Inilah kelebihan ponsel, bisa dibawa-bawa dan bisa digunakan di mana saja.
Mesin tik dan telepon lambat-laun akan menjadi cerita dari masa lalu. Kedua jenis benda itu tidak akan dikenal oleh generasi milenial sampai generasi z dan generasi-generasi selanjutnya.
Peran Museum
Namun mesin tik dan telepon tidak akan hilang dari peredaran. Selain di tangan kolektor yang bersifat pribadi, mesin tik dan telepon tentu saja bisa dijumpai di dalam museum. Museum memang sering didefinisikan sebagai tempat menyimpan benda-benda kuno. Namun sesungguhnya museum merupakan lembaga pelestarian. Di dalam museum, berbagai koleksi dirawat dan dipamerkan, lengkap dengan informasi benda-benda tersebut. Lewat museumlah masyarakat bisa mengetahui informasi perjalanan sejarah dan melihat benda masa lalu, termasuk mesin tik dan telepon.Â
Museum sendiri didefinisikan sebagai lembaga tetap, nirlaba, melayani kebutuhan masyarakat, dan bersifat terbuka dengan cara melakukan pengumpulan, perawatan, penelitian, komunikasi, dan pameran benda koleksi untuk kebutuhan studi (riset), pendidikan (edukasi), dan kesenangan (rekreasi). Lebih lanjut definisi museum ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66/2015, yakni lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat.
Kita bukan hanya akan 'kehilangan' mesin tik dan telepon. Di era kecerdasan buatan ini tentu banyak hal akan hilang dan muncul. Tahun ini saya sudah dua kali cek tensi darah dengan alat elektrik. Bahkan bisa dilakukan sendiri dengan memasukkan tangan dan hanya memencet tombol. Setelah menunggu beberapa detik, hasilnya tertera pada alat tersebut. Cepat dan praktis. Tensimeter dengan selang panjang, beberapa tahun lagi pasti akan menjadi barang jadul. Karcis manual sekarang hampir tidak ada lagi karena digantikan uang elektronik.
Sudah saatnya peran museum ditingkatkan. Hilangnya barang-barang jadul karena dampak teknologi tentu harus diantisipasi sebaik mungkin. Museumlah yang bertanggung jawab melestarikan sekaligus memamerkan benda-benda yang akan hilang ditelan waktu kepada anak cucu. Secara luas memang bendanya telah hilang dan tidak mungkin dipakai lagi. Namun secara terbatas generasi masa kini dan masa mendatang bisa mengetahui bagaimana penciptaan dan pencapaian benda-benda yang sudah sirna itu lewat museum.
Semoga Museum Telekomunikasi memberi perhatian kepada perjalanan sejarah alat telekomunikasi ini.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H