Pertengahan April 2020 lalu warga Blitar dibuat geger oleh berita penemuan sebuah benda yang diduga mahkota Kerajaan Majapahit. Berita tersebut menjadi viral di media daring, termasuk di media sosial. Benda tersebut berwarna kekuningan, sehingga diduga emas. Disebutkan, seorang warga menemukan mahkota ketika akan mencari pasir di sungai dekat rumahnya.
Ternyata setelah dicek petugas berwenang, mahkota bermotif naga tersebut berbahan tembaga, dengan tinggi sekitar 30 sentimeter dan berat dua kilogram. Konon, sebelumnya penggali pasir tersebut bermimpi ada seorang wanita tua menitipkan barang berupa kemenyan. Keesokan paginya, ketika sedang menggali pasir di pinggir sungai, ada benda yang tersangkut cangkulnya.
Mengingat tidak jauh dari desa itu ada Candi Kalicilik, maka beredarlah tafsiran benda tersebut sebagai mahkota Majapahit. Namun, banyak orang ragu karena mahkota tersebut bukan emas. Seorang perajin di Trowulan berani memastikan bahwa barang itu adalah buatan tetangganya.
Penemuan tersebut ditangani Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur (BPCB Jatim). Â Disimpulkan, mahkota itu bukan benda cagar budaya.
Ada hal yang janggal dari "temuan kuno" itu. Â Dari lokasi temuan, mahkota ditemukan di bagian cekungan sungai yang airnya relatif tenang sehingga tidak hanyut ketika arus sungai deras.
Jika dilihat dari kondisi fisik mahkota yang utuh dan tidak korosi, diperkirakan mahkota itu sengaja dipendam separuh. Dengan demikian ada sedikit bagian yang muncul ke permukaan. Hal itu akan memudahkan orang melihat temuan.
Hal lain yang janggal, kalau logam terendam air dalam jangka waktu lama, maka tanah yang berada di bagian dalam mahkota akan mengeras dan sangat sulit dibersihkan. Selain itu ada cacat di fisik mahkota, korosi, atau tidak utuh.
Mengharapkan kompensasi, mungkin saja begitu. Dalam Undang-Undang Cagar Budaya memang dikatakan ada kompensasi untuk setiap penemu benda cagar budaya yang besarnya ditentukan instansi berwenang.
Nah, itulah pekerjaan arkeologi, seperti detektif. Menganalisis palsu dan aslinya barang yang diperoleh masyarakat. Soalnya, barang temuan itu tidak punya konteks sejarah. Lain halnya kalau arkeolog melakukan ekskavasi atau penggalian arkeologi. Semuanya serba terekam dan ada hubungannya antara temuan yang satu dengan temuan lain sehingga menghasilkan narasi ilmu pengetahuan.
Arkeolog sendiri boleh dibilang terdiri atas beberapa golongan, antara lain arkeolog lapangan, arkeolog kantoran, dan arkeolog rumahan. Masing-masing memiliki keterampilan berbeda.
Lelang arca di AS
Kasus yang pernah menghebohkan adalah lelang arca Aksobhya dari Candi Borobudur di AS pada 2008. Pihak balai lelang menganggap barang itu asli. Namun para perajin patung batu di Muntilan menilai arca tersebut buatan perajin setempat. Hal ini terlihat dari pori-pori pada tubuh arca. Menurut mereka, sejak lama banyak kolektor barang antik dari dalam negeri dan mancanegara memesan arca Buddha sejenis dari para perajin. Kemudian lewat berbagai proses, arca itu "disulap" menjadi benda seni bernilai tinggi.
Di tangan pembuatnya arca itu hanya berharga jutaan rupiah. Namun, Balai Lelang Christie memasang harga pembukaan Rp 2,8 miliar. Tidak tertutup kemungkinan akan mencapai Rp 5 miliar, bahkan lebih, seandainya lelang berjalan mulus.
Lihat lebih jauh tulisan itu [di sini].
Yang unik pencurian arca kuno di Museum Radya Pustaka, Solo, pada 2007. Tercatat lima arca kuno hilang dan rencananya akan dibuat duplikat atau dipalsukan sebagai pengganti koleksi museum. Â Ironisnya, pencurian itu melibatkan kepala museum dibantu pegawai museum. Â Â
Kelima arca tak ternilai harganya itu ditemukan di rumah seorang pengusaha kaya yang juga kolektor benda antik. Ketika melakukan investigasi, seorang arkeolog Lambang Babar meninggal dunia.
Faktor Ekonomi
Benda kuno atau benda purbakala, begitulah masyarakat awam menyebut, memang selalu menarik perhatian. Apalagi bila dikaitkan dengan faktor ekonomi. Harganya yang mahal, sering kali menyebabkan oknum-oknum tertentu memburu, mencuri, atau memalsukan benda-benda kuno. Apalagi kini teknologi sudah semakin canggih.
Benda kuno memang sejak lama menjadi perhatian dua kalangan. Pertama, kalangan ilmuwan, terutama arkeologi, karena mengandung nilai ilmu pengetahuan. Kedua, kalangan pedagang atau kolektor karena nilai ekonomi sekaligus nilai sosial yang tinggi.
Demi duit memang banyak pihak menghalalkan segala cara. Begitulah nasib benda kuno. Bendanya sering kali diburu orang-orang tidak bertanggung jawab. Sebaliknya ilmu yang mempelajari tinggalan kuno, yakni arkeologi, sering 'dilecehkan' pemerintah sendiri. Dulu pernah terombang-ambing antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta Departemen Pariwisata dan Kebudayaan, termasuk dengan nomenklatur lain.
Bahkan sejak awal 2022 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tidak lagi di bawah Kemendikbudristek tetapi di bawah BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Tepatnya di bawah nama Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (Arbastra).
Di pihak lain, masih ada instansi arkeologi di bawah Kemendikbudristek, tapi berorientasi kepada pelestarian. Nama Direktorat Purbakala lalu Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman pernah disandang instansi arkeologi itu.***
             Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H