Kata-kata kasar sebagaimana di atas, hanyalah sebagian dari isi prasasti. Dalam dunia epigrafi disebut kutukan/sumpah serapah (sapatha). Biasanya sapatha diucapkan oleh sang makudur atau pemimpin upacara dalam peresmian penetapan prasasti sima. Â Sapatha ditujukan kepada siapa saja agar tidak melanggar ketentuan di dalam prasasti raja (sabdanata) tersebut. Â Prasasti tersebut kemudian diletakkan di tempat strategis agar mudah dilihat masyarakat.
Sapatha diucapkan dengan lantang supaya didengar oleh seluruh hadirin pada peresmian prasasti sima. Bersamaan dengan itu abu ditaburkan. Kalimat ancaman yang mengerikan itu biasa disebut panca mahapataka (lima jenis petaka atau kesengsaraan), yakni
- dibelah kepalanya,
- disobek perut dan ususnya,
- dikeluarkan isi perutnya,
- dimakan hati maupun dagingnya, dan
- diminum darahnya oleh para mahluk halus.
Belum lagi tambahan dimasukkan ke dalam neraka jahanam dan direbus di dalam kawah Sang Yama. Selain itu disampaikan harapan negatif yang semoga bakal menimpanya, yakni disambar petir, dipatuk ular, dimakan macan, dicaplok buaya, dsb.
Sapatha yang cukup dikenal terdapat pada beberapa prasasti masa Kerajaan Sriwijaya, terutama Telaga Batu. Prasasti-prasasti Sriwijaya dikeluarkan pada abad ke-7, jadi lebih tua dari prasasti di atas.
Menurut penelitian Nainunis Aulia Izza, pencantuman sapatha pada prasasti-prasasti tertua Sriwijaya bertujuan sebagai upaya melakukan kontrol terhadap wilayah dan penduduk yang berada di wilayah Sriwijaya. "Sapatha pada prasasti-prasasti tertua Sriwijaya dapat dikaitkan dengan upaya mempertahankan wilayah-wilayah strategis dengan menempatkan pihak-pihak yang dikuasai sebagai subyek yang selalu diintai sapatha jika melakukan kejahatan dan pengkhianatan," kata Nainunis.
Kembali ke soal prasasti di Situs Gemekan, tentu timbul pertanyaan, "Mengapa prasasti bisa ada di dalam tanah dan terpotong-potong. Bukankah prasasti harus diletakkan di lokasi strategis?" Kemungkinan prasasti itu dirusak oleh pemburu harta karun yang pernah marak pada masa 1960-an hingga 1980-an di kawasan Trowulan. Setelah diambil dari daerah lain, dibuang ke lokasi candi.
Adanya perusakan tampak dari lapisan tanah. Banyak plastik terdapat di dalam tanah, menandakan tanah pernah teraduk. Bagian candi juga tidak lengkap, pasti bata-batanya diambili maling harta karun.
Semoga dengan pembacaan yang segera dilakukan, data masa lampau semakin banyak kita dapatkan. Dengan demikian penyusunan sejarah kuno Nusantara akan lebih lengkap.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H