Selain foto-foto tercetak, baik hitam putih maupun berwarna, saya masih memiliki banyak film negatif. Mungkin sama banyak antara film hitam putih dengan film berwarna. Taksiran lebih dari 100 roll ada dalam kontener saya.
Dulu yang namanya film negatif dihitung per roll. Ada yang isi 36 per roll, ada pula 24. Ada yang ASA (ukuran kecepatan film) 100 maupun di atasnya.
Boleh dibilang memakai film roll amat boros. Untuk satu obyek, kita bisa membidik beberapa kali. Beda dengan film digital yang hasilnya bisa langsung dilihat. Sebaliknya film negatif harus diproses terlebih dulu baru kelihatan gambar yang kita foto. Pertama, melalui cuci foto, lalu cetak foto. Di antara cuci foto dan cetak foto sebenarnya ada yang disebut contact print. Jadi film roll digunting per 6 frame. Film isi 36 bisa menjadi 6 atau 7 bingkai.
Setiap bingkai dideretkan, lalu disinari seperti kita mencetak foto. Di atas film diletakkan kaca agar sinar masuk merata. Setelah itu jadilah foto-foto berukuran kecil. Sering kali dari contact print ini kita memilih foto yang kita anggap terbaik. Â
Scanner
Dulu saya mengambil gambar dengan tiga jenis film, yakni film hitam putih, film berwarna, dan slide (film positif). Masing-masing jenis memiliki keunggulan dan kelemahan. Foto hitam putih terkesan dramatis, sementara film berwarna dan slide terkesan eksotik.
Kemajuan teknologi terus berkembang. Sudah seharusnya memang saya mengalihmediakan film negatif dan slide ke dalam bentuk digital. Sayang saya belum memiliki scanner yang berkualitas. Kemampuan saya dalam hal teknologi digital juga masih minim.
Saya lihat pada beberapa website mancanegara, banyak foto hitam putih masih terlihat bagus. Tentu karena teknik penyuntingan mereka cukup baik. Untuk alih media memang kita perlu kemampuan memakai perangkat lunak seperti photoshop.
Iya dengan teknologi masa kini, foto-foto dengan kualitas seadanya, bisa 'dipermak' menjadi lebih bagus. Bahkan foto hitam putih bisa 'disulap' menjadi foto berwarna. Itulah teknologi fotografi yang semakin berkembang.
Sekarang ini baru foto-foto tercetak yang saya digitalkan. Saya sudah punya scanner sejak lama. Mayanlah foto-foto nostalgia tersebut saya posting di media sosial. Foto-foto tersebut kebanyakan berkenaan dengan kepurbakalaan dan saya foto pada masa 1980-an.
Saya pernah memotret Candi Borobudur sehabis diledakkan orang pada 1985, misalnya. Ada juga foto Gedung Kesenian Jakarta direnovasi pada 1986 dan pembangunan Patung Arjunawijaya juga pada 1986.
Akrilik
Sebenarnya ada aplikasi gratisan di ponsel. Kita bisa unduh di playstore. Namun hasilnya kurang bagus. Mungkin karena proses pengambilan gambar.
Pertama kali, kita harus membuat kotak untuk mengintip film. Saya pernah buat sendiri dari kardus sepatu. Bagian tengah dilubangi, yah seukuran 15 cm x 15 cm. Lalu bagian yang berlubang itu ditutup dengan akrilik berwarna putih susu. Dalam kardus itu kita masukkan lampu dan kita taruh di bawah akrilik. Setelah terang, kita taruh film di atas akrilik.
Kalau memakai perangkat lunak, kita ambil foto setiap frame. Â Lalu kita olah dengan menu bawaan dari playstore itu. Karena gratis, biasanya trial hanya berlangsung beberapa saat. Kalau kita tetap mau memakai, maka kita harus bayar dengan biaya tertentu.
Memang sayang punya banyak foto jadul, tapi tidak dimanfaatkan. Yah siapa tahu bisa dikomersialkan. Kalau di mancanegara, saya lihat banyak orang jual foto secara daring. Â Beberapa foto/slide saya memang pernah dibeli orang untuk keperluan kalender, pembuatan proposal, dan laporan kegiatan. Mayanlah karena hak cipta masih di tangan saya.
Siapa tahu foto-foto lama banyak peminat sehingga laku dijual. Apalagi ada bangunan atau kendaraan yang sekarang sudah tidak ada lagi. Dengan demikian menjadi informasi dan dokumentasi tambahan buat generasi masa sekarang dan mendatang. Yang penting, banyak cerita di balik foto-foto lama.***
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H