Beberapa hari lalu keluar pengumuman bahwa tarif Kereta Rel Listrik (KRL) akan naik. Buat saya sebenarnya tidak menjadi masalah, toh saya jarang sekali menggunakan KRL. Paling sekali-sekali saya menggunakan KRL kalau ada acara di Kampus UI Depok atau acara lain di sekitar Bogor. Kalau masih di Jakarta saya menggunakan bus TransJakarta.
KRL diidentikkan dengan wilayah Jabodetabek. Tarifnya murah sehingga menghemat biaya transportasi. Sekadar gambaran, tarif Jakarta Kota -- Bogor hanya Rp 5.000. Itu tarif maksimum. Saya pernah naik dari stasiun Juanda berhenti di stasiun UI, tarifnya Rp 3.000. Jadi murah meriah dan menghemat isi kantong.
Namun tentu menjadi masalah besar buat masyarakat yang sering menggunakan KRL untuk bekerja atau berdagang, apalagi setiap hari atau taruhlah dari Senin sampai Jumat. Kalau sekali jalan naik Rp 2.000, tinggal dikalikan saja berapa tambahan pengeluaran mereka. Â
Dulu semrawut
Masa 1970-an moda transportasi masal kereta api identik dengan kesan semrawut dan kotor. Kita sering menjumpai kereta api yang penuh sesak dengan penumpang, ada yang duduk di lantai, berjejal di bordes, bergelantungan di pinggir gerbong atau di pintu, dan menaiki atap gerbong kereta. Bahkan tidak membeli tiket. Bayangkan bagaimana petugas bisa memeriksa tiket, kalau penumpang berjejalan.
Menurut koransulindo.com, kondisi semakin kacau dengan masuknya pengamen, pedagang asongan, penyemir sepatu, pengemis, hingga copet. Mereka dapat dengan mudah masuk stasiun atau masuk ke dalam gerbong kereta, karena tidak ada pembatasan orang yang bisa masuk stasiun. Penumpang dapat leluasa keluar masuk stasiun melalui celah lubang di sekitar stasiun. Ironisnya lagi, penumpang sudah terbiasa membayar di atas kereta kepada petugas pemeriksa karcis. Tentu di bawah harga resmi. Saya sendiri pernah 2 kali membayar tiket di atas kereta, namanya juga mahasiswa, hehehe...
Hingga 2008 KRL atau kereta komuter (commuter line) jarak dekat jurusan Bogor/Bekasi -- Jakarta tergolong masih semrawut. Banyak penumpang nekad duduk di atas gerbong, padahal sudah banyak penumpang yang tewas karena tersengat listrik atau terjatuh. Mereka yang duduk di atap sering disebut atapers.
Untuk menghalau atapers pernah digunakan berbagai cara seperti menggunakan cat semprot dan membuat pintu koboi serta cara-cara lain. Meskipun sudah banyak korban jiwa, tetap saja masyarakat masih nekad.
Sekonyong-konyong muncul 'malaikat penyelamat' bernama Ignasius Jonan. Ia diangkat menjadi Dirut PT KAI pada 2009. Segera ia memperbaiki lingkungan luar dan dalam stasiun. Tiket berupa kartu elektronik mulai diberlakukan. Mulai saat itu hanya penumpang bertiket boleh masuk stasiun.
Menurut buku Selayang Pandang Sejarah Perkeretaapian Indonesia 1867-2014, pada 2013 PT KAI menggunakan sistem Electronic Ticketing Single Trip dan Multi Trip dengan gerbang elektronik pada seluruh jaringan/stasiun KRL Commuter Line.  Sejak beberapa tahun lalu penumpang KRL bisa menggunakan kartu elektronik dari bank mana pun untuk memasuki stasiun.
Kini KRL sudah nyaman dan aman. Dengan demikian menjadi salah satu moda transportasi darat yang banyak diandalkan oleh masyarakat. Mereka yang pergi pulang naik kereta api ke tempat kerja menamakan diri roker (rombongan kereta).
Tepat waktu
Dengan manajemen baru beberapa tahun lalu, kedatangan kereta boleh dibilang tepat waktu. Ada informasi di setiap stasiun jadwal kedatangan dan keberangkatan KRL untuk tujuan tertentu. Ini tentu membantu para penumpang.
Namun tetap saja pada saat jam sibuk, penumpang KRL membludak. Pada pagi hari menjelang jam kantor, penumpang dari Bogor, Bekasi, dan Tangerang yang membludak. Maklum umumnya kantor dan tempat usaha terdapat di Jakarta. Pada sore hari giliran KRL dari arah Jakarta, seperti stasiun Jakarta Kota dan Manggarai yang ramai penumpang.
Untung saja ketika saya diundang acara berlangsung pada saat jam sepi. Kalau ke Bogor atau Depok saya biasa naik dari stasiun Juanda. Berangkat dari rumah sekitar pukul 07.00. Saya selalu mendapat tempat duduk. Kalau pulang sore hari, itu jam sepi penumpang juga. Jadi kita perlu manajemen waktu.
Kilas balik lagi ke zaman baheula. Dulu ketika kereta masih berjalan di atas tanah, waduh antrean kendaraan bermotor sungguh luar biasa. Ini yang membuat orang stres di jalan. Bayangkan tiap beberapa menit, palang pintu perlintasan kereta tertutup. Antrean kendaraan itu antara lain terdapat di pintu perlintasan Manggarai, Megaria, Gambir, dan Juanda. Namun setelah dibuatkan jembatan kereta, lalu lintas kendaraan bermotor di area sibuk semakin lancar.
Menurut saya, masih perlu dibuatkan jembatan kereta agar kemacetan kendaraan bermotor ketika menunggu kereta lewat bisa diminimalisasi. Kalau kereta lewat tiap beberapa menit, tentu masalah buat kendaraan bermotor. Harus antre panjang menjelang perlintasan.
Saya memaklumi kenaikan tarif KRL. Namun hendaknya uang kenaikan digunakan untuk membuat jembatan kereta api. Dengan adanya jembatan, kemacetan lalu lintas dan kecelakaan bisa diminimalisasi. Keberangkatan kereta pun bisa ditambah, terutama pada jam-jam sibuk sehingga memberi keamanan dan kenyamanan kepada para pengguna kereta. Nanti perlu dibuatkan gerbong khusus lansia. Selama ini kan yang sudah ada gerbong khusus wanita.***
   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H