Bangunan yang paling awal dipastikan berasal dari tumbuhan. Konstruksi tiang menggunakan kayu dan bambu, sementara atap menggunakan dedaunan termasuk ijuk. Namun batang pohon dan batang bambu itu tidak diolah terlebih dulu. Bahkan sebagian manusia purba pernah hidup di atas pohon.
Rumah atau bangunan konstruksi kayu yang bagaimanakah yang dibangun ribuan hingga ratusan tahun lalu itu? Sayang, sampai kini kita sulit mendapatkan jejaknya. Soalnya, tumbuhan mudah rapuh dimakan usia.
Meskipun demikian, jejak-jejak rumah kuno masih bisa dilihat pada sejumlah suku bangsa. Mereka masih membuat rumah kayu atau bambu, mengingat mereka tinggal jauh di pedalaman. Di sana, di lingkungan mereka, yang ada tentu berbagai jenis pohon, bambu, dan tanaman lain. Karena itu mereka memanfaatkan bahan-bahan yang sudah tersedia di lingkungan mereka.
Rumah-rumah dengan arsitektur tradisional masih dilestarikan hingga kini. Diketahui, mereka membuat rumah tanpa paku besi seperti yang dikenal sekarang. Pasak kayu, teknik sambungan kayu, dan cara mengikat bambu dikerjakan dengan berbagai cara, tentu tergantung keahlian si tukang di berbagai daerah.
Temuan arkeologis
Selama bekerja di lapangan, para arkeolog jarang sekali menemukan bangunan kayu secara utuh. Paling-paling tinggalan yang mengindikasikan pernah digunakan kayu sebagaimana temuan pada Candi Plaosan.
Balai Arkeologi DI Yogyakarta pernah menemukan sisa-sisa bangunan kayu di Situs Liyangan. Ketika itu ditemukan sisa-sisa kayu, bambu, dan ijuk dalam kondisi lapuk dan berbentuk arang. Diketahui, sisa-sisa itu pernah tertimbun material Gunung Sindoro pada abad ke-11. Bisa jadi selama ratusan tahun Gunung Sindoro pernah meletus berkali-kali. Terlihat sisa-sisa itu ditemukan cukup dalam dari permukaan tanah. Â Â
Menurut Kepala Balai Arkeologi DI Yogyakarta ketika itu, Pak Sugeng Riyanto, temuan sisa bangunan kayu sangat istimewa. Apalagi ada yang berukuran cukup besar, yakni 8 m x 8 m. Â Rumah panggung itu juga memiliki sekat-sekat. Karena sangat rapuh, sisa-sisa itu perlu penanganan khusus.
Ditafsirkan, bangunan besar itu berfungsi sebagai tempat berkumpul para tokoh agama sebelum dan sesudah melakukan aktivitas pemujaan. Dulu memang gunung dianggap 'sakti' karena menjadi 'tempat bermukimnya para dewa'. Tafsiran lain, menjadi rumah kediaman tokoh yang dihormati.
Dalam ekskavasi muncul pula balok kayu, papan, ijuk, bambu utuh, bilah bambu, bahkan kayu gelondongan, termasuk lubang-lubang untuk menancapkan bahan-bahan bangunan itu. Bisa jadi bahan-bahan itu digunakan untuk atap, dinding, lantai, dan tiang penopang. Â Bahan-bahan organik ini kemungkinan menunjukkan area permukiman.
Penafsiran menjadi bagian penting dari arkeologi. Tentu saja sesuai nalar dan logika penelitian. Bukan asal njeplak seperti yang dilakukan masyarakat awam.
Lihat tulisan berikut [di sini] Â Â Â Â
Relief candi
Pada masa silam, berjenis-jenis bangunan kayu tentu ada pada berbagai wilayah. Nah, hal ini bisa untuk bahan perbandingan. Banyak bangunan kayu masih tergambar pada berbagai relief candi, yang terbanyak terdapat pada Candi Borobudur.
Pada 1979 Ir. Parmono Atmadi pernah menulis disertasi berjudul Beberapa Patokan Perancangan Bangunan Candi, Suatu Penelitian Melalui Ungkapan Bangunan Pada Relief Candi Borobudur. Menurut Parmono, bangunan konstruksi kayu yang diungkapkan dalam relief candi berjumlah 248 buah. Pada waktu itu, katanya, pembangunan rumah-rumah telah memperhatikan iklim tropis lembab.
Bangunan-bangunan itu memiliki berbagai jenis atap, yakni atap pelana, atap limasan, atap limasan lengkung, atap tajuk, dan atap susun.
Pada bagian lain Parmono mengatakan, "Bangunan-bangunan konstruksi kayu menunjukkan bahwa pembangunan mengikuti kebutuhan fungsional, geografi, geologi, dan iklim. Lantai bangunan tidak diletakkan di atas tanah, tetapi ditinggikan dengan tiang-tiang penyangga hingga terjadi ruang di antara lantai dan tanah yang dikenal dengan istilah kolong bangunan".
Inilah pola atau ciri arsitektur tropis lembab yang menjadi bangunan-bangunan asli Indonesia. Hingga kini bangunan asli Indonesia itu masih terlihat di seluruh kepulauan Nusantara. Karena merupakan negara agraris, kegiatan kaum pria banyak dilakukan di muka rumah, sedangkan kaum wanita di belakang rumah.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI