Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masih Adakah Rumah Tradisional Betawi di Condet?

12 Januari 2022   07:25 Diperbarui: 29 April 2022   22:02 3195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 1983 ketika masih menjadi mahasiswa arkeologi, saya pernah berkunjung ke daerah Condet di Jakarta Timur, bersama rekan Candrian Attahiyat. Ketika itu masih ada terminal bus kota Cililitan. Dari Cililitan tinggal berjalan kaki saja menyusuri Condet, yang terdiri atas tiga kelurahan, yakni Batu Ampar, Kampung Tengah, dan Bale Kambang.

Dulu daerah Condet sangat sejuk. Di kanan kiri jalan banyak tumbuh pepohonan. Salak Condet pernah populer. Sebagai mahasiswa arkeologi, tentu saja yang menjadi perhatian kami adalah tinggalan budaya. Rumah tradisional Betawi, begitu tepatnya.

Rumah tradisional Betawi difoto 1983 (Dokpri)
Rumah tradisional Betawi difoto 1983 (Dokpri)

Cagar budaya Condet

Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (1966-1977) pernah menetapkan Condet sebagai kawasan cagar budaya karena sebagian besar warga Condet terdiri atas suku Betawi. 

Pada awalnya memang kawasan Condet terlindungi. Banyak warga menanam pohon duku dan pohon salak. Duku dan salak itu kemudian dijual di sekitar terminal Cililitan.

Yang menarik, kawasan Condet dihuni banyak warga keturunan Arab. Dengan demikian memperkaya kebudayaan Betawi. Apalagi di sini pernah terdapat banyak rumah tradisional Betawi. Seingat saya, pada 1983 itu saya sempat melihat sekitar sepuluh rumah Betawi, bahkan sempat masuk ke dalam.

Ada beberapa macam rumah Betawi, tentu tergantung status sosial si pemilik. Rumah yang tergolong mewah memiliki jendela bujang atau jendela intip. Jendela bujang bisa digeser-geser membuka dan menutup.  

"Selain berfungsi sebagai ventilasi dan jalan cahaya, jendela bujang berfungsi sebagai tempat pertemuan perawan yang punya rumah dengan pemuda yang datang pada malam hari. Si gadis ada di sebelah dalam, sedangkan si pemuda ada di luar, dibatasi jendela berjeruji. Sebelum sampai pada taraf 'ngelancong' yang agak intim, anak perawan yang bersangkutan cukup mengintip dari celah-celahnya," demikian menurut http://encyclopedia.jakarta-tourism.go.id.

Rumah tradisional Betawi difoto 2012 (Dokpri)
Rumah tradisional Betawi difoto 2012 (Dokpri)

Rumah tradisional Betawi terbuat dari kayu. Umumnya berasal dari pohon nangka dan pohon kelapa. Ada juga yang berupa setengah tembok, menunjukkan pengaruh Belanda.

Penduduk Condet menyebut kakek dengan istilah engkong. Nah, kata engkong merupakan pengaruh Tionghoa dialek Hokkian. Banyak pengaruh Tionghoa di kalangan etnis Betawi, misalnya tou-kung pada bagian rumah dan sebutan pangkeng untuk kamar tidur. Belum lagi baju koko, kebaya encim, dan hiasan burung hong pada aksesori rambut.

Karena terbuat dari bahan kayu, rumah Betawi mudah rusak. Pada masa Gubernur Ali Sadikin, pemprov DKI Jakarta pernah menggelontorkan dana bantuan agar rumah Betawi terlestarikan. Sayang, sepeninggal Ali Sadikin keberadaan rumah Betawi minim perhatian.

Pada 1990-an saya pernah nostalgia ke Condet. Ternyata banyak rumah Betawi sudah dijual. Bahkan di Condet terdapat beberapa bangunan modern. Pada 2012 saya pernah diajak Balai Konservasi Cagar Budaya DKI Jakarta ke rumah Pak Haji Abdussalam. Ketika itu sudah ada perbaikan di sana-sini. Semoga rumah Betawi itu masih tetap bertahan hingga sekarang.   

Menurut seorang kawan, saat ini kawasan Condet hampir tak ada bedanya dengan pemukiman-pemukiman lain di Jakarta. Padat dan semrawut karena pembangunan di kawasan Condet sulit dikendalikan. 

Kebun dan kawasan hijau, sirna dan digantikan oleh rumah-rumah modern, kios, bengkel, warung, restoran, toko, dan minimarket milik para pendatang. Kini, status Cagar Budaya Betawi hanya tinggal kenangan.  

Temuan arkeologi dari Condet (Sumber: liputan6.com)
Temuan arkeologi dari Condet (Sumber: liputan6.com)

Prasejarah

Kawasan Condet berada dekat aliran Sungai Ciliwung. Tidak heran beberapa arkeolog seperti Hasan Djafar dan Dirman Surachmat melakukan penelitian di sana sejak 1970-an. 

Dulu manusia zaman prasejarah, ribuan tahun silam, pernah tinggal di Condet. Beberapa temuan peralatan purba ada di Museum Sejarah Jakarta.  Hasan adalah dosen Jurusan Arkeologi UI, sedangkan Dirman arkeolog dari Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta.

Temuan dari Condet antara lain berupa  gerabah-gerabah kuno, baik polos maupun berhias. Ada lagi  pecahan beliung persegi, pecahan cetakan, batu fosil, terakota, alat besi berbentuk parang, dan mata panah. Para pakar menafsirkan, dulu ada kegiatan perburuan di tepi Ciliwung.

Pembangunan fisik di Jakarta memang paling pesat.  Jangan heran kalau banyak tinggalan lama (di)musnah(kan) untuk digantikan bangunan modern. Padahal, dari tinggalan-tinggalan lama kita bisa belajar untuk masa depan yang cerah.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun