Penduduk Condet menyebut kakek dengan istilah engkong. Nah, kata engkong merupakan pengaruh Tionghoa dialek Hokkian. Banyak pengaruh Tionghoa di kalangan etnis Betawi, misalnya tou-kung pada bagian rumah dan sebutan pangkeng untuk kamar tidur. Belum lagi baju koko, kebaya encim, dan hiasan burung hong pada aksesori rambut.
Karena terbuat dari bahan kayu, rumah Betawi mudah rusak. Pada masa Gubernur Ali Sadikin, pemprov DKI Jakarta pernah menggelontorkan dana bantuan agar rumah Betawi terlestarikan. Sayang, sepeninggal Ali Sadikin keberadaan rumah Betawi minim perhatian.
Pada 1990-an saya pernah nostalgia ke Condet. Ternyata banyak rumah Betawi sudah dijual. Bahkan di Condet terdapat beberapa bangunan modern. Pada 2012 saya pernah diajak Balai Konservasi Cagar Budaya DKI Jakarta ke rumah Pak Haji Abdussalam. Ketika itu sudah ada perbaikan di sana-sini. Semoga rumah Betawi itu masih tetap bertahan hingga sekarang. Â Â
Menurut seorang kawan, saat ini kawasan Condet hampir tak ada bedanya dengan pemukiman-pemukiman lain di Jakarta. Padat dan semrawut karena pembangunan di kawasan Condet sulit dikendalikan.Â
Kebun dan kawasan hijau, sirna dan digantikan oleh rumah-rumah modern, kios, bengkel, warung, restoran, toko, dan minimarket milik para pendatang. Kini, status Cagar Budaya Betawi hanya tinggal kenangan. Â
Prasejarah
Kawasan Condet berada dekat aliran Sungai Ciliwung. Tidak heran beberapa arkeolog seperti Hasan Djafar dan Dirman Surachmat melakukan penelitian di sana sejak 1970-an.Â
Dulu manusia zaman prasejarah, ribuan tahun silam, pernah tinggal di Condet. Beberapa temuan peralatan purba ada di Museum Sejarah Jakarta. Â Hasan adalah dosen Jurusan Arkeologi UI, sedangkan Dirman arkeolog dari Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta.
Temuan dari Condet antara lain berupa  gerabah-gerabah kuno, baik polos maupun berhias. Ada lagi  pecahan beliung persegi, pecahan cetakan, batu fosil, terakota, alat besi berbentuk parang, dan mata panah. Para pakar menafsirkan, dulu ada kegiatan perburuan di tepi Ciliwung.
Pembangunan fisik di Jakarta memang paling pesat. Â Jangan heran kalau banyak tinggalan lama (di)musnah(kan) untuk digantikan bangunan modern. Padahal, dari tinggalan-tinggalan lama kita bisa belajar untuk masa depan yang cerah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H