Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Dulu di Transportasi Umum Jakarta Banyak Pengamen dan Preman

9 Januari 2022   08:43 Diperbarui: 11 Januari 2022   20:34 2619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat Jakarta yang pernah menggunakan angkutan umum sejak 1970-an sampai sekarang pasti merasakan perbaikan sedikit demi sedikit. Saya sendiri boleh dibilang pengguna setia angkutan umum. 

Saya mulai menggunakan angkutan umum ketika duduk di bangku SMP. Waktu SD, saya sering berjalan kaki atau naik becak karena jarak dari rumah ke sekolah cukup dekat.

Ketika SMP saya menggunakan oplet atau bus kota. Waktu itu semua oplet menggunakan karoseri kayu. Penumpang bisa duduk di depan, di samping sopir. 

Di bagian belakang hanya ada satu pintu. Dari situlah penumpang masuk. Kalau tidak salah, kapasitas di bagian belakang sepuluh penumpang yang duduk saling berhadapan. Beberapa tahun kemudian oplet hilang dari Jakarta karena digantikan mikrolet.

Bergelantungan dan berjejal di pintu (Sumber: datatempo)
Bergelantungan dan berjejal di pintu (Sumber: datatempo)

Oplet dan bus kota

Pulang sekolah, saya sering naik bus kota. Ongkosnya lebih murah dari oplet. Lagi pula bisa berhenti sekitar 200 meter dari rumah saya. Beda dengan saat berangkat, jalur bus kota cukup jauh. 

Nah inilah bedanya. Kalau naik oplet selalu dapat duduk karena jumlah penumpang disesuaikan dengan tempat duduk, sedangkan kalau naik bus kota hampir selalu berdiri.

Waktu itu saya sering naik bus Pelita Mas Djaja, yang merupakan singkatan dari Pembangunan Lima Tahun Masjarakat Djakarta Raja rute Lapangan Banteng -- Cililitan atau Lapangan Banteng -- Halim Perdanakusuma. 

Dulu angkutan umum di Jakarta dimiliki oleh beberapa perusahaan, seperti Mayasari Bhakti, Medal Sekarwangi, Arion, Merantama, Saudaranta, Ajiwirya, SMS, dan PPD. Hanya PPD yang merupakan perusahaan milik negara. Setiap perusahaan bus melayani rute tertentu.

Dulu ada ongkos tertentu untuk umum, pelajar/mahasiswa, dan ABRI. Tapi namanya pelajar kadang sering "nembak". Ditagih ongkos bilang "belakang", hehehe...

Pada 1980-an mulai diberlakukan karcis bus untuk pelajar/mahasiswa. Jadi kita harus membeli satu bundel atau tergantung keperluan. Kalau kita berganti bus tentu butuh karcis lebih. 

Setiap akhir bulan saya membeli bundel karcis di terminal Lapangan Banteng, persis di bawah Tugu Pembebasan Irian Barat. 

Maklum Lapangan Banteng lebih mudah dicapai. Setelah itu dibuka loket pembelian karcis di Bank Pembangunan Daerah. Karena lebih dekat dari kampus, saya membeli di sana. 

Bus tingkat saja penuh sesak (Sumber: datatempo)
Bus tingkat saja penuh sesak (Sumber: datatempo)

Berdesakan dan bergelantungan

Pada jam-jam tertentu, naik bus kota ibarat tempat 'siksaan'. Kita harus berdesakan, atau kalau lagi apes terpaksa berdiri di pintu, bahkan bergelantungan. Artinya memegang bagian pintu dengan satu tangan dan berpijak dengan satu kaki. Jadi berakrobat untuk sampai tempat tujuan dengan menyerempet bahaya.  

Pernah ada aturan naik dari pintu depan dan turun dari pintu belakang. Namun karena penumpang berjubel, aturan itu tidak digubris penumpang. Ada yang naik dari pintu belakang dan turun dari pintu depan, yang penting jalur terdekat saja.

Naik bus kota sering kebut-kebutan antar sopir, terutama untuk rute yang sama. Apalagi kalau kondektur bilang "belakang rapat". Padahal sudah ada stiker "sesama pengemudi dilarang saling mendahului". 

Namanya juga kejar setoran, terpaksa penumpang sport jantung. Yang bikin kesal, kita dioper ke bus depan atau bus belakang meskipun tanpa ongkos lagi. Lalu bus yang kita naiki segera berputar balik untuk mencari penumpang.

Belum lagi kalau ada pengamen di dalam bus, ini membuat tidak nyaman. Yang menakutkan kalau ada preman dan mulai orasi. 

"Selamat siang bapak/ibu penumpang bus," katanya. 

Pertama sih sopan, tapi kemudian buntutnya, "Saya baru beberapa hari keluar dari penjara. Buat bapak/ibu uang seribu sih tidak menjadi masalah. Hari ini saya belum makan, bla bla bla..."

Penumpang yang merasa ketakutan sering memberikan recehan kepada si preman. Apalagi si preman memperlihatkan silet tajam sambil menyayat-nyayat kertas.

Pokoknya naik bus kota, baik yang berukuran besar maupun sedang, rata-rata bikin kita senewen. Sopir ugal-ugalan, kebut-kebutan dan menaikkan/menurunkan penumpang semaunya. Belum lagi ada pengamen, preman, pedagang, dan pengemis. Oh ya, yang juga bikin kesal kalau kondektur teriak "belakang kosong". 

Pengamen di dalam Metro Mini (Sumber: cnnindonesia.com)
Pengamen di dalam Metro Mini (Sumber: cnnindonesia.com)

Transjakarta

Rasa aman dan nyaman semakin diperhatikan pemerintah. Sejak beroperasinya TransJakarta mulai 2004, rasa aman dan nyaman mulai ada, hanya ketepatan waktu yang belum terlaksana. 

Sedikit demi sedikit sih TransJakarta mulai bebenah. Pada setiap halte dipasang televisi untuk menginformasikan jadwal kedatangan bus berikut. Inilah kemajuan sejak adanya teknologi digital.

Berhenti di setiap halte sudah bagus. Bayar ongkos tanpa uang tunai sudah maju. Fasilitas gratis untuk lansia dengan kartu khusus sudah manusiawi. 

Saat ini angkutan umum di Jakarta sudah lebih baik. Tentu masih perlu diperbaiki lagi. Masih banyak penumpang berjejalan, terutama pada saat pergi dan pulang kantor. Untuk itu perlu penambahan armada TransJakarta.

Jika saja jumlah armada semakin banyak, perlu dibuat peraturan ganjil genap di seluruh wilayah Jakarta. Dengan demikian masyarakat semakin sedikit menggunakaan kendaraan pribadi, yang berdampak pada berkurangnya kemacetan dan polusi.

Penambahan armada sangat penting agar terjadi keamanan, kenyamanan, dan tepat waktu. 

Pada jam-jam sibuk armada bus harus dioperasikan penuh. Di luar jam sibuk bisa dikurangi sedikit. Yang penting harus feksibel sesuai dengan manajemen transportasi. 

Semoga angkutan umum di Jakarta akan menjadi terbaik di Asia Tenggara, terlebih dengan dukungan Commuter Line, MRT, dan LRT, termasuk pendukung TransJakarta lain.***  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun