Pada 1980-an mulai diberlakukan karcis bus untuk pelajar/mahasiswa. Jadi kita harus membeli satu bundel atau tergantung keperluan. Kalau kita berganti bus tentu butuh karcis lebih.Â
Setiap akhir bulan saya membeli bundel karcis di terminal Lapangan Banteng, persis di bawah Tugu Pembebasan Irian Barat.Â
Maklum Lapangan Banteng lebih mudah dicapai. Setelah itu dibuka loket pembelian karcis di Bank Pembangunan Daerah. Karena lebih dekat dari kampus, saya membeli di sana.Â
Berdesakan dan bergelantungan
Pada jam-jam tertentu, naik bus kota ibarat tempat 'siksaan'. Kita harus berdesakan, atau kalau lagi apes terpaksa berdiri di pintu, bahkan bergelantungan. Artinya memegang bagian pintu dengan satu tangan dan berpijak dengan satu kaki. Jadi berakrobat untuk sampai tempat tujuan dengan menyerempet bahaya. Â
Pernah ada aturan naik dari pintu depan dan turun dari pintu belakang. Namun karena penumpang berjubel, aturan itu tidak digubris penumpang. Ada yang naik dari pintu belakang dan turun dari pintu depan, yang penting jalur terdekat saja.
Naik bus kota sering kebut-kebutan antar sopir, terutama untuk rute yang sama. Apalagi kalau kondektur bilang "belakang rapat". Padahal sudah ada stiker "sesama pengemudi dilarang saling mendahului".Â
Namanya juga kejar setoran, terpaksa penumpang sport jantung. Yang bikin kesal, kita dioper ke bus depan atau bus belakang meskipun tanpa ongkos lagi. Lalu bus yang kita naiki segera berputar balik untuk mencari penumpang.
Belum lagi kalau ada pengamen di dalam bus, ini membuat tidak nyaman. Yang menakutkan kalau ada preman dan mulai orasi.Â
"Selamat siang bapak/ibu penumpang bus," katanya.Â
Pertama sih sopan, tapi kemudian buntutnya, "Saya baru beberapa hari keluar dari penjara. Buat bapak/ibu uang seribu sih tidak menjadi masalah. Hari ini saya belum makan, bla bla bla..."