Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sedekah Ilmu Menulis dan Numismatik kepada Masyarakat Sebagai Imunitas Tubuh

1 Januari 2022   14:12 Diperbarui: 5 Januari 2022   11:15 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama masa pandemi 2021 banyak hal memang bisa dikerjakan dari rumah. Belajar dari rumah atau bekerja dari rumah sangat populer sejak 2020. Untungnya dunia internet sudah maju sehingga kegiatan tersebut bisa dilakukan melalui beberapa aplikasi. Aplikasi paling populer tentu saja Zoom.

Lewat Zoom kegiatan bisa diikuti dari berbagai tempat. Tentu asalkan jaringan internet memadai atau kita memiliki kuota cukup. Nama kegiatan secara daring itu kerap disebut webinar, seminar melalui web. Semua peserta saling terhubung melalui internet.

Sebagian peserta webinar yang terdiri atas siswa-siswa SMK Pariwisata (Dokpri)
Sebagian peserta webinar yang terdiri atas siswa-siswa SMK Pariwisata (Dokpri)

Belajar Bersama Muskitnas

Kata seorang teman, kalau belum mampu berbagi uang, berbagilah ilmu. Sedekah ilmu tidak ada ruginya, kata teman tadi. Dalam kondisi pandemi, saya diberi kesempatan oleh Museum Kebangkitan Nasional mengisi BBM (Belajar Bersama Muskitnas) dengan topik "Kepenulisan". Kegiatan ini diikuti puluhan siswa SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) jurusan Pariwisata.

Nah, ini 'kehebatan' acara daring. Peserta webinar berasal dari berbagai daerah di luar Jakarta. Saya mendapat kesempatan beberapa kali untuk sedekah ilmu. Ketika itu Museum Kebangkitan Nasional bermitra dengan Ikatan Pemandu Museum Indonesia (IPMI) dan Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI).

Saya mendapat kesempatan 30 menit untuk berbicara tentang menulis di media sosial. Menulis adalah seni merangkai kata-kata supaya enak dibaca. Tentang bahasa formal dan bahasa nonformal juga saya ungkapkan. Selanjutnya tentang beda tulisan ilmiah dengan tulisan populer. Bahkan tentang tulisan fiksi dan nonfiksi.

Saya juga bilang kalau menulis jangan cuma mengejar monetisasi atau pageviews. Kalau membuat Youtube, jangan mengejar subscriber tapi isinya negatif atau nge-prank. Menulis jangan hoaks.  Tulislah konten positif yang informatif dan edukatif. Dengan demikian tulisan kita mencerdaskan dan bermanfaat buat banyak orang. Lagi pula tulisan kita tidak akan terjerat Undang-undang ITE mengingat di media sosial banyak patroli Polisi Cyber.

Poster webinar numismatik yang diselenggarakan 4 September 2021 (Dokpri)
Poster webinar numismatik yang diselenggarakan 4 September 2021 (Dokpri)

Numismatik

Selain penulisan, saya pun pernah menjadi narasumber kegiatan webinar numismatik. Webinar ini untuk umum, hasil kerja sama Museum Nasional, Museum Uang Sumatera, CORE (Club Oeang Revoloesi), serta KPBMI (Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia). Selain saya, turut berbicara Ibu Idez (Museum Nasional), Pak Uno (CORE), dan Pak S. Barus (Museum Uang Sumatera).

Saya berbicara dari sudut pandang arkeologi. Mata uang logam atau koin sebagaimana temuan dari berbagai situs arkeologi merupakan artefak bertanggal mutlak. Jadi koin bisa untuk memberi tarikh kepada temuan-temuan lain. Sebagaimana kita tahu, koin memiliki data tekstual (teks) dan data piktorial (gambar atau simbol).

Koin dalam arkeologi berbicara konteks sejarah. Arkeolog tidak peduli koin itu bagus atau jelek, yang penting data koin terungkap. Beda dengan kolektor atau numismatis yang selalu mempertimbangkan grade (kondisi). Apalagi ada sistem grading dalam bentuk sertifikasi koleksi. Semakin bagus koleksi, maka semakin berharga mahal.

Mata uang dalam arkeologi untuk rekonstruksi sejarah (informasi dan edukasi), sementara di mata numismatis sebagai benda investasi. Namun penafsiran koin harus dilakukan dengan benda sezaman dan sejajar. Dulu ada kesalahan penafsiran terhadap koin yang ditemukan di situs Gunung Pandang. Koin itu dianggap berusia ribuan tahun karena berada pada lapisan tanah berusia ribuan tahun. Padahal koin merupakan benda budaya, sementara lapisan tanah merupakan benda nonbudaya. Jelas salah besar.

Entah apakah pada 2022 ini si Covid sudah benar-benar pergi atau belum. Inilah salah satu keuntungan buat peserta kegiatan daring: mendapat ilmu dari rumah. Syukur-syukur mendapat cendera mata dari panitia webinar jika beruntung.

Berbagi ilmu atau pengetahuan, baik lewat Kompasiana, webinar, maupun kegiatan-kegiatan lain, menjadi kebahagiaan tersendiri buat saya. Yah hitung-hitung sebagai imunitas tubuh. Semoga saya masih bisa memberi sedekah ilmu. Kalau memberi sedekah uang, maka uang kita akan habis. Kalau memberi sedekah ilmu, maka secara tidak terduga justru ilmu kita akan bertambah.***   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun