Peredaran uang kertas Indonesia sebenarnya telah melalui proses penyortiran secara ketat. Pemeriksaannya selalu dilakukan secara berlapis. Namun namanya manusia pasti ada saja kekurangan. Akibatnya kita sering menemukan uang kertas yang kondisinya tidak normal (cacad) atau 'error', baik dalam bundelan baru maupun yang sudah beredar di masyarakat. Sebagian kolektor menyebutnya uang 'gak waras'. Ini cuma guyonan.
Pencetakan uang bisa dipastikan menggunakan mesin canggih. Meskipun demikian ada saja lembaran uang yang dicetak kurang sempurna. Belum lagi pada waktu proses pemotongan lembaran-lembaran besar menjadi uang yang akan dikirim ke Bank Indonesia.
Kemungkinan lain ada oknum-oknum nakal. Seharusnya uang 'error' itu dimusnahkan. Namun oleh sang oknum, uang 'error' itu diambil dan dijual ke kolektor.
Secara garis besar uang 'error' dibagi menjadi dua jenis, yakni salah potong (miscut) dan salah cetak (misprint) . Salah potong, misalnya, ada kertas yang terlipat kemudian dipotong. Akibatnya ada bagian yang menjulur. Contoh lain pada halaman buku atau majalah/koran sesekali ada bagian yang terlipat. Ada juga bagian yang kurang tinta atau tintanya blobor.
Meskipun tergolong langka, ada uang kertas yang seharusnya tercetak pada dua muka, malah hanya tercetak pada satu muka. Di luar itu ada yang disebut cetak geser, jadi seakan ada bayangan. Â
Saya sendiri pernah mendapat uang salah potong dari pedagang. Mungkin ia tidak tahu. Kalaupun tahu 'error', pasti ia sengaja memberikannya kepada pembeli. Jika kita punya uang 'error', bisa saja penjual atau toko/warung akan menolak uang tersebut. Dengan kata lain uang 'error' tidak laku untuk bertransaksi.
Uang 'error' baru laku di tangan kolektor uang atau numismatis. Sejak lama banyak numismatis mengoleksi uang 'error'. Di mata numismatis, uang 'error' layak menjadi benda koleksi.
Selain uang berbentuk normal, memang sejak 1970-an para numismatis mencari 'suasana' baru dalam memperoleh benda koleksi. Maklum pemerintah tidak menerbitkan mata uang setiap tahun. Lain halnya dengan prangko yang dalam setahun bisa terbit sampai belasan kali.
Nah, karena sulitnya perbendaharaan koleksi mata uang, maka dikembangkanlah model lain. Misalnya mengoleksi uang kertas dengan tahun emisi berbeda, tanda tangan berbeda, nomor seri unik, dan terakhir uang 'error'. Ini untuk uang-uang yang tergolong baru.