Ratusan tahun lalu sebelum Gunung Sindoro erupsi, masyarakat sudah memiliki kearifan lokal tentang kebencanaan. Mereka selalu mengamati lingkungan dan tanda-tanda alam. Beberapa hari sebelum erupsi, masyarakat sudah meninggalkan kota yang sekarang dikenal sebagai situs Liyangan.
Situs Liyangan terletak di Temanggung, Jawa Tengah. Bisa jadi selama ratusan tahun, Sindoro telah beberapa kali memuntahkan debu vulkanik atau apa pun sebutannya. Ketika erupsi, mungkin saja masyarakat meninggalkan Liyangan secara permanen. Mereka pindah ke lokasi lain yang dianggap lebih aman.
Begitu dahsyatnya debu vulkanik, bisa dilihat dari dampak Gunung Semeru di Jawa Timur, yang mulai erupsi 4 Desember 2021 lalu. Di wilayah tertentu, debu vulkanik menutupi sebagian rumah penduduk. Mungkin tebalnya minimal satu meter. Bayangkan bagaimana beratnya sehingga beberapa rumah rata dengan tanah karena tidak sanggup menahan beban di atasnya.
Sejauh ini erupsi Semeru telah merenggut 34 korban jiwa. Belum lagi korban harta benda, termasuk jembatan penghubung Lumajang-Malang yang terputus. Bandingkan dengan tiadanya temuan rangka manusia pada situs Liyangan. Berarti tanpa korban jiwa dalam erupsi Sindoro. Menurut pakar kebencanaan, zona aman berada sekitar 12 kilometer dari Gunung Semeru.
Situs Liyangan baru terkuak beberapa tahun lalu setelah ratusan tahun tertutup debu vulkanik. Â Penambang pasirlah penemu situs tersebut, yang kemudian diteliti oleh Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta (Balar DIY). Pak Sugeng Riyanto beberapa kali memimpin ekskavasi di sana. Bahkan Pak Sugeng telah menghasilkan beberapa buku tentang situs Liyangan. Â
Lihat tulisan saya [Menurut Penelitian Balai Arkeologi DIY, Situs Liyangan Tertutup Letusan Gunung Sindoro pada Abad ke-11]. Â
Lihat juga [Letusan Gunung Api Model untuk Penelitian Arkeologi]Â
Bahan pelajaran buat dunia arkeologi
Sekali erupsi saja, tebal debu vulkanik dampak Gunung Semeru mencapai satu meter bahkan lebih. Seandainya berkali-kali meletus, tentu tebal debu vulkanik begitu tinggi. Demikian yang sering terjadi pada temuan-temuan arkeologi, seperti candi, yang kini berada di bawah permukaan tanah. Tentu betapa tebalnya debu vulkanik atau kita sebut tanah berpasir itu.
Tanah, pasir, dan material lain bisa dibedakan satu sama lain. Setiap partikel bahan-bahan itu sangat berbeda. Â
Erupsi gunung berapi memang membuat musibah atau bencana buat masyarakat yang hidup sezaman. Namun erupsi Semeru---dan juga gunung-gunung lain seperti Merapi, Kelud, dan Sinabung---menjadi bahan pelajaran buat dunia arkeologi, yang memang meneliti masa lampau. Lagi pula, banyak artefak masih berada di dalam tanah. Jadi masih misteri.
Hari ini, Rabu, 8 Desember2021, Balai Arkeologi DIY meluncurkan Rumah Peradaban Situs Liyangan. Salah satunya buku pengayaan berjudul Gunung Meletus, Belajar dari Situs Layangan. Buku ini untuk bahan bacaan anak-anak Sekolah Dasar. Namun tentu saja boleh dibaca oleh kalangan lain.
Menurut Agni Mochtar dari Balai Arkeologi DIY, materi dalam buku disesuaikan dengan kemampuan atau daya pikir anak-anak seusia Sekolah Dasar. Buku terbagi dalam beberapa bab dan dibuat dengan teks berikut gambar menarik.
Pembuatan poster tentang Liyangan juga dilakukan anak-anak sekolah. Menurut Putri Taniardi, poster-poster mereka dipajang di Rumah Peradaban Situs Liyangan. Seorang guru SD, Pudji Astuti, yang diminta tanggapan mengatakan buku pengayaan sangat informatif dan edukatif.
Pada kesempatan itu diluncurkan pula film animasi kedua tentang Situs Layangan. Menurut Pudji Astuti, anak-anak sekolah lebih senang informasi yang bergerak daripada yang statis. "Apalagi ringan dan lucu," kata Pudji.
Lihat tulisan berikut [Memasyarakatkan Hasil Penelitian Arkeologi Lewat Film Animasi]
Kepala Galeri Fotografi Jurnalistik Antara, Ismar Patrizki, menyambut baik terbitnya buku pengayaan, poster, dan film animasi. Ia menganggap sudah bagus dari segi komposisi warna dan grafis. "Dulu arkeologi ibarat milik akademisi dan peneliti, sekarang bisa dilakukan oleh masyarakat," katanya.
Ika Permata Hati dari Komunitas Literasi menganggap buku pengayaan, poster, dan film animasi sudah memiliki kosa kata yang kaya. Bahasanya sederhana karena ibarat menikmati cerita, bukan belajar sejarah.
Jika tertarik, silakan kunjungi laman Balai Arkeologi DIY www.arkeologijawa atau berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id. Namun buku pengayaan masih dalam proses cetak.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H