Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Karena Kemasabodohan Kita, Banyak Arca Kuno Dilelang di Mancanegara

4 Desember 2021   08:54 Diperbarui: 6 Desember 2021   08:45 1295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada acara lelang oleh Bonhams cabang Hong Kong, 2 Desember 2021, dua arca kuno berbahan logam, yaitu Buddha Shakyamuni (Cakyamuni) dan Manjushri (Manjusri) terjual dengan harga 13.086 dollar (sekitar Rp 189 juta) dan 24.376 dollar (sekitar Rp 353 juta dengan kurs Rp 14.500).  

Dua arca itu berasal dari abad ke-9. Arca Shakyamuni memiliki tinggi 8,3 cm, sementara arca Manjushri 8,5 cm.

Shakyamuni dan Manjushri menggambarkan Buddha. Wajah Shakyamuni terlihat memiliki tatapan tenang, menunduk, dan gaya berjalan santai. Miniatur perak ini membangkitkan ketenangan yang menawan. 

Berdiri di atas alas teratai ganda yang renyah, Shakyamuni memegang kedua tangannya yang dimodelkan dengan halus sebagai isyarat mengajar (vitarka mudra), dengan jari tengah menyentuh ibu jari. Ujung jubahnya dengan anggun berliku-liku di sisi kirinya. Begitu catatan balai lelang tersebut sebagaimana bisa dilihat di www.bonhams.com.

Arca itu dapat dibandingkan dengan Buddha Vairocana dari akhir abad ke-9 di The Metropolitan Museum of Art dan barang yang sama ketika terjual di Christie's, Amsterdam, 18 Oktober 2005, lot 176.

Sementara itu Manjushri tergambar dengan wajah bulat, montok, dan senyum yang menyenangkan. Kedua arca memperlihatkan keterampilan pengrajin Jawa. 

Dari permukaan dan patina yang halus menunjukkan arca digunakan untuk pemujaan. Arca-arca perak itu sering ditempatkan di atas alas perunggu dengan lingkaran cahaya. Jan Fontein pernah menulis arca Manjushri yang lebih besar di buku The Sculpture of Indonesia (1990, hal. 194, no.46).

Arca Manjushri dari Jawa, abad ke-9, terjual di balai lelang mancanegara (Sumber: bonhams.com)
Arca Manjushri dari Jawa, abad ke-9, terjual di balai lelang mancanegara (Sumber: bonhams.com)

Kolektor mancanegara 

Entah siapa pemenang lelang tersebut. Yang jelas sekarang kedua arca milik kolektor mancanegara. Pemilik kedua arca kuno itu pun misterius, karena ada kode etik di balai lelang untuk tidak menyebarkan nama pemilik.  

Berbagai komentar banyak muncul di media sosial. "Sejujurnya, di Indonesia tidak terlalu diapresiasi. Biasanya sudah ramai kalau sudah diambil orang," demikian komentar yang satu. Ia menambahkan, kalau kita lihat Tropenmuseum Amsterdam dan Volkenkunde Museum Leiden, jauh banget kondisinya dengan yang di Museum Gajah Jakarta (Museum Nasional, pen.). 

"Mungkin sementara ini lebih baik "dititipkan" di museum luar negeri atau kolektor luar negeri/dalam negeri dulu. Nanti kalau Indonesia sudah mampu merawat dengan baik, baru dipulangkan pelan-pelan," kata yang lain.

Arca logam, apalagi yang berukuran kecil, sulit dilacak siapa yang menemukan dan bagaimana bisa sampai ke mancanegara. Berbeda dengan arca batu, apalagi berukuran besar, yang umumnya menjadi bagian dari candi.

Pada masa lalu arca logam disimpan di dalam rumah para pemuja Buddha. Arca-arca berupa dewa-dewi Hindu, Dhyanni Buddha, Dhyanni Boddhisatwa, dan Manusi Buddha banyak terdapat di Nusantara. Nama-nama dewa dan arca Buddha dapat dikenali dengan mudah oleh arkeolog yang mengambil spesialisasi ilmu ikonografi (pengetahuan tentang arca kuno).

Arca-arca logam dari Nusantara sejak lama banyak "lari" ke mancanegara. Ini tentu karena kekurangpedulian masyarakat kita. Kita jual, mereka beli. Banyak arca kuno, termasuk tinggalan-tinggalan budaya lain, sejak lama dilelang di balai lelang mancanegara. 

Pemeriksaan di bea cukai pun kurang ketat karena ketidakmengertian aparat. Beberapa tinggalan yang diketahui berasal dari kegiatan ilegal pernah dikembalikan ke Nusantara. Salah satunya bisa dilihat di sini.

Semoga secepatnya pemerintah dan masyarakat peduli kepurbakalaan sebagai tinggalan berharga nenek moyang kita. Selanjutnya bergotong royong mendirikan museum untuk melestarikan tinggalan-tinggalan tersebut. Jangan sampai 'lari' ke mancanegara karena kemasabodohan kita.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun