Kemarin 12 Oktober, berbagai insan permuseuman di seluruh Indonesia merayakan Hari Museum Indonesia. Berbagai acara webinar, virtual tour, seminar, dan sejumlah acara diselenggarakan oleh banyak museum.Â
Tentu saja oleh museum-museum pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kota, dan pemerintah kabupaten. Maklum museum-museum itu memiliki dana APBN atau APBD.Â
Geliat museum-museum swasta memang agak terhenti. Di masa pandemi ini pemasukan museum-museum swasta sangat minim. Apalagi ada pembatasan jumlah pengunjung. Padahal karcis masuk menjadi pemasukan utama museum swasta.Â
Beberapa hari sebelum Hari Museum Indonesia, saya sempat datang ke Museum Nasional di Jakarta untuk menghadiri acara peluncuran buku.Â
Tentu saja secara terbatas dan dengan protokol kesehatan ketat. Â
Museumnya sendiri masih tertutup untuk umum. Semoga kalau pandemi sudah melandai, Museum Nasional bersama museum-museum lain segera dibuka kembali untuk publik.Â
Braille
Saya sempat melihat koleksi arca di ruangan terbuka dengan tampilan baru. Ada beberapa arca dilengkapi label dalam huruf Braille. Tentu ini untuk kepentingan teman-teman kita dari golongan tunanetra.Â
Dengan huruf Braille, para tunanetra dapat membaca dan menulis. Huruf Braille tersusun dari 6 titik, berupa 3 baris horisontal dan 2 baris vertikal. Titik yang menonjol itulah yang dibaca sebagai huruf.Â
Jika titik pertama yang menonjol, maka dibaca "a" (lihat foto berikut). Huruf Braille bisa juga untuk membaca angka dan not musik.Â
Huruf Braille antara lain terdapat pada koleksi arca Parwati dari Candi Rimbi (Jombang) abad ke-14 Masehi. Tentu saja label itu masih berbahasa Indonesia. Adanya huruf Braille sangat membantu teman-teman disabilitas kita dalam memahami sejarah.Â
Mereka bisa membaca label itu dengan sentuhan ujung jari. Kita harapkan sedikit demi sedikit koleksi museum akan dilengkapi huruf Braille. Maklum, meskipun kelihatan sederhana, biayanya cukup mahal.
Beberapa tahun lalu Museum Nasional bekerja sama dengan Yayasan Mitra Netra pernah menyelenggarakan "Touch Tour". Â Anak-anak berusia belasan tahun diajak memegang sejumlah arca.Â
"Touch Tour" adalah program kunjungan ke museum bagi anak-anak difabel dari SD Yayasan Mitra Netra untuk belajar lebih jauh soal sejarah.Â
Sambil meraba arca, anak-anak diberikan pengetahuan soal sejarah di balik patung tersebut. Misalnya ketika anak meraba arca Ganesha, mentor menjelaskan kenapa berbentuk gajah dan bersenjatakan kapak.Â
Buku Braille
Museum lain yang sudah memperhatikan kaum tunanetra adalah Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. April 2021 lalu Museum KAA meluncurkan dua produk media belajar berupa buku Braille dan buku suara (audiobook) "The Bandung Connection".Â
Satu lagi berupa video berjudul "Museum untuk Semua: Empat Dekade Perjalanan Museum KAA".Â
Museum KAA memang menyediakan tempat khusus untuk kaum tunanetra. Saya pernah dua kali ke Museum KAA sewaktu kepala museum dijabat Pak Isman, lalu Pak Thomas.Â
Di Perpustakaan Museum KAA ada "Braille Corner". Kita harapkan koleksinya semakin bertambah.Â
Saya melihat memang Museum KAA telah membekali para edukatornya dengan layanan bimbingan yang ramah disabilitas, termasuk akses masuk ke museum. Semoga ada partisipasi masyarakat untuk mendukung semacam Pojok Braille pada museum-museum lain.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H