Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Prasasti Candi Angin dari Abad ke-13 Berisi Larangan Berpoligami

14 September 2021   18:38 Diperbarui: 15 September 2021   13:07 2094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan coba-coba berpoligami. Jika ada suami yang mengambil isteri kedua maka ia tidak termasuk keturunan pemuja Siwa.

Begitulah isi Prasasti Candi Angin, yang diduga ada hubungannya dengan Kerajaan Majapahit pada abad ke-13---14.

Saat ini Prasasti Candi Angin disimpan di Museum Kartini, Jepara. Baru kali ini ada prasasti yang berisi larangan berpoligami.

Hal tersebut terungkap ketika Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta (Balar DIY) menyelenggarakan Temu Ilmiah Rutin bertema "Arkeologi Semenanjung Muria" pada Selasa, 14 September 2021. 

Tampil sebagai pembicara Hery Priswanto (Ragam Tinggalan Arkeologi Masa Hindu-Buddha di Lereng Utara Gunung Muria) dan Shoim Abdul Aziz (Tinggalan Prasasti di Semenanjung Muria). 

Keduanya adalah staf peneliti di Balar DIY. Pembicara lain Moh. Rosyid (Jejak Kudus Kota Tua: Menunggu Sentuhan Arkeolog) dari IAIN Kudus.

Prasasti Candi Angin terbilang unik. Berbentuk persegi panjang, tinggi 82 sentimeter, lebar 30 sentimeter, dan tebal 5 sentimeter. Aksaranya Jawa Kuno dan terdapat pada kedua sisi. Sisi A berisi 8 baris, sementara sisi B berisi 7 baris.

Prasasti Candi Angin dari Jepara (Foto: Balar DIY)
Prasasti Candi Angin dari Jepara (Foto: Balar DIY)

Patahan purba

Semenanjung Muria memiliki gunung api purba. Hingga abad ke-16, gunung ini pernah menjadi pulau tersendiri, terpisah dari Pulau Jawa oleh Selat Muria.

Di sepanjang selat ini muncul kota-kota pelabuhan, seperti Semarang, Jepara, Demak, Kudus, Pati, dan Juwana. 

Selat ini menjadi salah satu jalur perdangangan rempah-rempah yang menghubungkan Timur Tengah dengan Maluku, dan mungkin dilalui oleh Tom Pires dalam lawatannya di Jawa pada 1512 dan 1515.

Selat ini mengalami pendangkalan dan tertutup pada abad ke-17 dan ke-18, sehingga kondisinya seperti yang kita lihat.

Saat ini tim Balar DIY tengah melakukan penelitian di Gunung Muria. Gunung ini terdapat pada tiga kabupaten, yakni Pati, Jepara, dan Kudus. Menurut ketua tim peneliti Hery Priswanto, informasi adanya sisa-sisa bangunan candi di sebuah bukit berasal dari laporan Dinas Purbakala pada 1901 dan 1914.

Disusul laporan dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada 2004 yang mengatakan adanya prasasti perunggu, koin Cina, dan sisa-sisa bangunan di lereng Gunung Muria.

Bangunan yang paling dikenal adalah Candi Angin sebenarnya berupa sebuah reruntuhan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara. Begitu pula yang disebut Candi Bubrah. Dalam bahasa Jawa bubrah berarti runtuh atau berantakan. Di mata masyarakat, kedua candi dipenuhi legenda. Candi itu terbentuk sendiri, begitulah kepercayaan masyarakat.

Candi Angin sering didatangi penganut aliran spiritual. Karena mereka bisa 'melihat' ada sebuah pusaran angin di lubang candi, maka dinamakan Candi Angin.

Konon Candi Angin lebih tua daripada Candi Borobudur, ditafsirkan peninggalan Kerajaan Kalingga. Bahkan ada anggapan kalau candi ini buatan manusia purba karena tidak terdapat ornamen-ornamen Hindu-Buddha.

Menurut Hery Priswanto, ragam tinggalan arkeologi di Gunung Muria cukup banyak, antara lain berupa miniatur candi, arca terakota, yoni, arca ganesha, dan prasasti.

Sementara menurut Shoim Abdul Aziz, ada empat prasasti yang berasal dari Gunung Muria. Dua prasasti terdapat di Kabupaten Jepara, yakni Prasasti Candi Angin dan Prasasti Watu Sima. Dari Kabupaten Pati ditemukan Prasasti Wihara i Wunandaik dan Prasasti Joolong. Dari keempat prasasti hanya Prasasti Watu Sima yang belum diterjemahkan.

Temuan miniatur candi dan arca terakota dari Gunung Muria (Foto: Balar DIY)
Temuan miniatur candi dan arca terakota dari Gunung Muria (Foto: Balar DIY)

Hari jadi Kudus

Moh. Rosyid berkisah tentang Menara Kudus dan lingkungannya. Juga tentang hari jadi Kudus yang dianggap perlu dipertimbangkan lagi. Bicara Kudus memang menarik. 

Dulu agama Hindu berkembang di sini. Mengingat Hindu sangat menghormati sapi, maka makanan yang beraroma sapi sangat langka ditemukan di Kudus. Toleransi masih tetap terpelihara oleh masyarakat saat ini yang mayoritas Islam. Biasanya daging sapi digantikan daging lembu.

Hari jadi Kudus paling disoal Rosyid. Waktu itu tim UGM merekomendasikan hari jadi Kudus 1 Ramadhan 956 Hijriah atau 23 September 1549 Masehi. Namun menurut Rosyid, di atas mihrab Masjid Kudus terdapat kaligrafi Arab yang berarti Selasa Legi, 19 Rajab 956 H atau 23 Agustus 1549 M. Jadi 23 Agustus 1549 lebih tepat ketimbang 23 September 1549.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun