Di dekat Candi Borobudur ada sebuah dusun yang menjadi sentra kerajinan gerabah. Namanya Dusun Klipoh tapi sering disebut Nglipoh. Dusun itu berada di Desa Karanganyar. Hampir semua warga di Dusun Nglipoh terampil membuat kerajinan gerabah. Mereka membuat berbagai bentuk dan ukuran gerabah, dari kecil hingga besar.
Tentu sangat pantas bila dusun Nglipoh menjadi alternatif kunjungan wisata setelah ke Candi Borobudur. Apalagi membuat gerabah merupakan keterampilan turun-temurun yang sezaman dengan pembangunan Candi Borobudur. Bentuk dan cara pembuatan gerabah tergambar pada beberapa relief atau batu berukir.
Roda putar
Akhir Juni 2021 sejumlah Kompasianer dan peserta Sound of Borobudur sempat berkunjung ke daerah itu. Terlihat sejumlah warga sedang asyik mengolah tanah lembek dengan roda putar. Adonan tanah pertama kali diletakkan dalam roda putar. Kemudian tangan yang satu memutar tatakan, sementara tangan satunya membentuk adonan tanah yang lembek itu. Agar lebih mudah terbentuk, pada adonan tanah ditetesi air sedikit demi sedikit. Tak lama kemudian terbentuk sebuah wadah kecil.
Setelah itu wadah-wadah kecil tersebut dijemur di pekarangan. Adanya panas matahari sangat membantu proses pengeringan. Masalah akan terjadi kalau mendung atau hujan. "Lama keringnya," kata Pak Supoyo yang memandu kami.
Biasanya wadah-wadah yang sudah kering diletakkan secara berderet. Lalu di atas wadah diberi jerami. Jerami-jerami itu lantas dibakar sambil ditambahi jerami dan dikipas-kipas. Umumnya kaum wanita yang membuat gerabah. Kaum prianya bertugas membakar gerabah.
Pada kesempatan itu sejumlah Kompasianer ikut mencoba membuat gerabah. Sebagai pemula tentu saja ada kesulitan. Akibatnya bentuk yang mereka buat tergolong kurang sempurna. Ada yang meletot ke kiri, ada yang meletot ke kanan. Tapi itulah pengalaman berharga membuat gerabah.
Soal roda putar memang memiliki beragam model. Saya pernah belajar di Museum Seni Rupa dan Keramik di Jakarta, memutar roda dengan kaki. Jadi dua tangan di atas leluasa bergerak.
Terangkat
Menurut Pak Supoyo, geliat gerabah semakin terangkat seiring bermunculan upaya kuliner bernuansa jadul. Jadi benda-benda seperti tungku, wadah, piring, dan cobek banyak diproduksi di sana. Di masa pandemi, barang yang banyak diproduksi berupa pot. Maklum banyak warga mulai mengembangkan hobi baru, yakni bertanam.
Soal mendapatkan tanah liat atau tanah lempung sebagai bahan dasar gerabah, sesekali Pak Supoyo mendapatkan kesulitan. Untuk membuat wadah tertentu, misalnya, tanah liat harus didatangkan dari Bali.
Wisata edukasi di Dusun Nglipoh berkembang sejak beberapa tahun lalu. Praktik pembuatan gerabah bisa diikuti segala usia. Hasil 'keterampilan' mereka bisa dibawa pulang. Hasil dari teman-teman Kompasianer tadi esoknya dibawa Pak Supoyo ke Balkondes Ngargogondo, tempat kami menginap. Â
Pada relief
Tradisi membuat gerabah di Dusun Nglipoh bisa dilihat pada relief Candi Borobudur. Â Di tempat Pak Supoyo ada beberapa gerabah yang siap jual karena sudah melalui proses pembakaran. Saya lihat ada bentuk stupa, ciri khas Candi Borobudur. Ada pula kendi, tempat minuman tradisional.
Gerabah dapat berfungsi dalam konteks religius dan profan. Pada relief candi digambarkan jenis-jenis gerabah di masa lalu, berikut teknik pembuatan gerabah, bagaimana tanah liat diangkut, hingga proses pembakaran benda.
Ternyata gerabah pernah ditemukan melalui ekskavasi arkeologis Proyek Pemugaran Candi Borobudur masa 1970-an, antara lain 10 periuk utuh. Belum lagi ribuan gerabah berbentuk pecahan. Gerabah-gerabah itu ada yang polos, ada yang berhias (Berkala Arkeologi Vol. 33 Edisi No. 2/November2013).
Pada 2012 Balai Arkeologi Yogyakarta pernah melakukan ekskavasi di Situs Borobudur untuk meneliti jejak-jejak  permukiman kuna.***Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H