Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ruang Candi Pawon Sudah Kosong, Mungkin Arcanya Diambil Tangan Jahil

8 Juli 2021   11:23 Diperbarui: 8 Juli 2021   11:39 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Relief kalpataru pada Candi Pawon (tanda panah)/Dokpri

Lebih dari 30 tahun lalu saya pernah berkunjung ke Candi Pawon di dekat Candi Borobudur. Kemungkinan besar pada 1985 dan 1987. Waktu itu Candi Pawon masih terkesan berantakan. Batu-batu candinya masih berserakan di sana-sini. Bahkan ada yang digunakan oleh penduduk sekitar untuk pengganjal pintu atau pondasi rumah.

Ibarat terkepung, rumah-rumah penduduk hanya berjarak beberapa meter dari Candi Pawon. Dulu rumah penduduk masih amat sederhana, umumnya berbahan bambu. Belum permanen.

Akhirnya pada 25 Juni 2021 saya bernostalgia kembali ke Candi Pawon. Kali ini bersama rombongan Sound of Borobudur dan Kompasiana. Ceritanya, Kompasiana pernah menyelenggarakan lomba penulisan tentang relief alat musik di Candi Borobudur. Dari 200-an peserta, terpilih sepuluh penulis terbaik, termasuk saya. Namun sayang, sehari sebelum keberangkatan, seorang peserta mengundurkan diri. Jadinya hanya sembilan orang yang ikut acara Incentive Trip itu, yang disponsori oleh Kemenparekraf.

Selain ke Candi Pawon, para peserta juga diajak ke berbagai kepurbakalaan yang berlokasi di areal permukiman warga. Maklum, ketika itu sejumlah situs tertutup untuk umum, termasuk Candi Pawon.  Ini demi untuk mencegah kerumuman yang mungkin saja berdampak pada penularan pandemi Covid.

Para Kompasianer di luar pagar pembatas Candi Pawon (Foto: Priscilla)
Para Kompasianer di luar pagar pembatas Candi Pawon (Foto: Priscilla)

Candi Buddha

Dibandingkan 30 tahunan lalu, kini Candi Pawon sudah berdiri megah.  Rumah-rumah penduduk pun sudah berubah drastis. Namun tetap saja Candi Pawon terkepung perumahan penduduk.

Untuk menjaga kelestarian candi, sekeliling candi diberi pagar besi oleh Balai Konservasi Borobudur, pengelola candi itu. Karena dalam kondisi darurat Covid, kami hanya melihat dari luar. Namun itu pun sudah memberi kesan mendalam buat para peserta. Aktivis Komunitas Taksaka--singkatan dari Pencinta Aksara Kawi--Nugroho Wibisono atau Wiby bertindak sebagai pemandu. Ia memang orang Magelang, jadi hafal betul kepurbakalaan di sana.

Candi Pawon bersifat Buddha. Ini ditandai adanya dagoba atau semacam stupa di bagian puncak. Nama Pawon sendiri mungkin berasal dari sebutan penduduk setempat, pawon yang berarti dapur. Dulu ketika masih berantakan, bentuknya seperti dapur di rumah penduduk. Menurut Purbacaraka, Candi Pawon adalah upa angga---bagian dari Borobudur---seperti pawon (dapur) dari sebuah rumah. Lain halnya J.G. de Casparis, seorang pakar epigrafi (membaca prasasti kuno). Ia berpendapat Candi Pawon adalah tempat penyimpanan abu sisa pembakaran jenazah Raja Indra (782-812 Masehi). Mungkin saja Pawon berasal dari kata pe-awu-an.

Pintu masuk Candi Pawon yang tertutup karena pandemi (Dokpri)
Pintu masuk Candi Pawon yang tertutup karena pandemi (Dokpri)

Garis lurus

Candi Pawon terletak di antara Candi Borobudur dan Candi Mendut. Bila diamati dengan teliti, ketiga candi berada dalam satu garis lurus. Keletakan itu sesuai dengan konsep dalam agama Buddha.

Pertama kali Candi Pawon dipugar oleh Th. Van Erp pada 1903. Diketahui candi itu menghadap Barat Laut. Denah candi berbentuk bujur sangkar. Seperti halnya candi-candi lain, Candi Pawon pun terdiri atas tiga bagian: kaki candi, tubuh candi, dan atap candi.

Pada pintu masuk terdapat ragam hias kalamakara. Kepala kala dihubungkan dengan sepasang makara oleh bingkai lengkung, sementara pada pipi tangga terdapat dua pasang makara.

Ruang candi sudah kosong. Mungkin pernah terdapat arca Boddhisatwa di sini. Namun kemudian hilang diambil tangan-tangan jahil manusia. Sampai sekarang kita belum tahu arca apakah terdapat di sana, apakah terbuat dari batu ataukah logam.

Pada dinding candi terdapat pahatan pohon-pohon kalpataru keluar dari jambangan. Kalpataru adalah pohon kehidupan yang kemudian dipakai untuk penghargaan lingkungan hidup setiap 5 Juni. Kalpataru dikenal pada candi Hindu dan candi Buddha, meskipun terkadang disebut dengan nama lain seperti kalpalata dan kalpawreksa.

Sebenarnya saya hanya peserta. Tapi karena mereka tahu saya arkeolog, jadi mereka banyak bertanya kepada saya. Termasuk Gabriel, orang Belgia yang menjadi tim Sound of Borobudur. Misalnya saja soal batu asli dan batu baru. Lalu soal kalpataru dan cerita di balik itu. Yah gapapalah berbagi pengetahuan kepada masyarakat awam. Semoga mereka mengerti dan paham kondisi kepurbakalaan, terutama yang berada di areal permukiman warga. Dengan demikian upaya pelestarian menjadi lebih mudah.***

Bahan bacaan:

Moertjipto dan Bambang Prasetyo. Borobudur, Pawon, dan Mendut. Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 1993.

Edi Sedyawati, Hariani Santiko, dkk. Candi Indonesia Seri Jawa. Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, 2013.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun