Pada 1976 beliau turut mendirikan organisasi profesi Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) bersama seniornya, Pak R.P. Soejono. Bahkan beliau menyusun kode etik untuk arkeolog Indonesia.
Setelah pensiun beliau tidak berhenti menuangkan pikiran. Beliau pernah menjadi anggota Tim Sidang Pemugaran (TSP) dan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) DKI Jakarta. Sebelumnya beliau menjadi TACB Nasional.
Di DKI Jakarta kiprahnya sangat dihormati Ahok, yang pernah menjabat Gubernur DKI Jakarta. Banyak nasihat pernah beliau kemukakan, terutama untuk pembangunan kampung akuarium di Jakarta Utara. "Semuanya saya serahkan kepada Pak Profesor," demikian kata Ahok ketika itu.
Pak Otti juga tidak setuju atas rencana pemprov DKI Jakarta membangun sirkuit Formula-E di kawasan Monas. Kalau tidak ada pandemi, mungkin saja sirkuit tersebut telah jadi. Entah bagaimana kelanjutan sirkuit tersebut. Â
Pembimbing skripsi
Pak Otti menjadi pembimbing saya ketika saya menulis skripsi "Pengunjung dan Masalah Konservasi Candi Borobudur: Sebuah Penelitian Pendahuluan" (1985).Â
Terus terang ia menilai skripsi itu 'aneh'. Maklum bukan menyangkut artefaktual. Tapi di mancanegara penelitian seperti itu kerap dilakukan arkeolog. Apalagi ada subdisiplin Arkeologi Publik. "Ini bersifat 'action research'," kata beliau ketika itu.
Setelah lulus pada 1985, saya malang-melintang di dunia nonarkeologi. Namun saya tidak meninggalkan dunia arkeologi. Saya tetap menulis arkeologi, dan juga museum tentunya. Kalau menulis arkeologi, saya sering minta pendapat Pak Otti. Misalnya ketika menulis tentang harta karun laut dan pengrusakan di situs Trowulan.
Meskipun kemudian jarang bertemu, Pak Otti tetap mengingat saya. Yah tentu karena tulisan-tulisan saya di media cetak. Saya dan beliau sering kontak-kontakan, terlebih ketika muncul hp atau ponsel. Lebih sering ketika muncul lagi media sosial. Kami sering kontakan lewat WA dan FB.
Beberapa tahun lalu ia pernah kontak saya. "Skripsi lo lagi dibahas di Borobudur tuh," katanya. Kami memang sering berbicara santai.
Dalam skripsi itu saya membahas tentang kelestarian Candi Borobudur dari pengunjung. Saya mengusulkan pihak pengelola perlu membuat alas kaki khusus yang lembut yang harus dipakai para pengunjung untuk menaiki candi.Â
Usul kedua adalah melapisi batu-batu candi, terutama pada bagian anak tangga, dengan karpet atau sejenisnya. Bersyukur, hasil pemikiran saya diaplikasikan oleh Balai Konservasi Borobudur sekitar 2019. Berarti 34 tahun kemudian.