Salah satu persoalan yang dihadapi museum adalah memelihara atau merawat benda koleksi. Benda apa pun kalau tidak dirawat tentu akan rusak sedikit demi sedikit. Apalagi benda yang tergolong lunak seperti kertas dan kain.
Koleksi museum sendiri terdiri atas beragam jenis, bentuk, dan bahan. Ada yang berupa benda utuh, fragmen, dan replika. Ada pula berupa spesimen, hasil rekonstruksi, atau hasil restorasi. Koleksi-koleksi tersebut harus memenuhi syarat, antara lain sesuai dengan visi dan misi museum, jelas asal-usulnya, diperoleh dengan cara yang sah, keterawatan, dan tidak mempunyai efek negatif bagi kelangsungan hidup manusia dan alam.
Peraturan Pemerintah Nomor 66/2015 menyatakan Pengelola Museum wajib melakukan pemeliharaan koleksi yang dilakukan secara terintegrasi.
Pengelola Museum pun wajib membuat prosedur operasional standar yang dikenal sebagai SOP untuk pemeliharaan koleksi. Dikatakan dalam PP 2015 itu.
Pengelola Museum yang tidak melaksanakan pemeliharaan koleksi sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya, dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Salah satu tenaga teknis yang ada di museum untuk merawat koleksi disebut konservator. Namun tidak semua museum wajib memiliki konservator sendiri.
Sering kali museum swasta, terutama yang lemah secara ekonomi, tidak memiliki konservator. Dalam hal ini museum boleh saja menggunakan konservator dari museum atau lembaga lain.
Ini dimaklumi karena peralatan untuk melakukan konservasi cukup mahal. Hanya museum-museum pemerintah dengan dana APBN atau APBD yang memiliki tenaga dan perlengkapan konservasi. Museum-museum swasta hanya melakukan konservasi secara tradisional.
Museum Bank Indonesia (MBI) sudah memiliki tenaga konservator lengkap dengan perlengkapan canggih untuk melihat kerusakan dan faktor penyebab kerusakan koleksi uang. MBI memiliki koleksi uang kertas dan uang logam (koin). Penanganan setiap koleksi berbeda-beda.