Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menurut Prasasti Abad ke-9, Raja Balitung Pernah Berburu Burung Kitiran dan Mandi di Pancuran

18 Maret 2021   08:15 Diperbarui: 18 Maret 2021   11:40 1116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Candi Kedulan di Sleman (Foto: Balai Pelestarian Cagar Budaya DI Yogyakarta)

Pada Juli 2015 di Situs Candi Kedulan ditemukan sebuah prasasti dalam kondisi pecah dua. Prasasti itu kemudian disebut Tlu Ron, yang berarti Tiga Daun. Ketika menamakan prasasti memang ada kaidah khusus. Misalnya ada tulisan yang menyebutkan bangunan suci atau nama tempat. Jadi prasasti tidak sembarang memperoleh nama.

Karena masih menggunakan aksara kuno, tentu tidak setiap orang bisa membaca prasasti itu. Pakar membaca prasasti disebut epigraf, sementara pengetahuannya disebut epigrafi. Itu pun bukan sekadar membaca. Secara lengkap epigraf melakukan alih aksara ke huruf Latin, menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, dan menafsirkan istilah atau kata yang 'aneh'.

Proses menangani sebuah prasasti amat panjang, tidak bisa langsung jadi. Belum lagi kalau aksaranya ada yang hilang atau rusak/aus. Ini harus dihubungkan dengan aksara sebelum dan sesudahnya. Prasasti Tlu Ron menggunakan sebagian kecil aksara Sanskerta dan sebagian besar Jawa Kuno.

Dua prasasti lain yang ditemukan di kompleks Candi Kedulan (Foto: Balai Pelestarian Cagar Budaya DI Yogyakarta)
Dua prasasti lain yang ditemukan di kompleks Candi Kedulan (Foto: Balai Pelestarian Cagar Budaya DI Yogyakarta)
Terbelah dua

Epigraf yang pernah membaca Prasasti Tlu Ron antara lain Pak Djoko Dwiyanto (alm) dan Pak Tjahjono Prasodjo. Bahkan epigraf mancanegara bernama Arlo Griffiths. Proses pembacaan jelas tidak mudah, meski kondisi prasasti batu andesit setebal 16 cm, tinggi 78 cm, dan lebar 78 cm itu kondisinya cukup bagus. Maklum di bagian yang terbelah dua itu banyak aksara hilang.   

Prasasti Tlu Ron memiliki tarikh 822 Saka atau 900 Masehi. Tarikh Masehi dan tarikh Saka berselisih 78 tahun, kecuali untuk periode tertentu berselisih 79 tahun. Tarikh 822 berasal dari kata "dwidasradvipe". Ini berupa candrasengkala, jadi harus dibaca dari belakang ke depan. Dwi berarti 2, dasra berarti kembar (identik dengan 2), dan dvipe berarti gajah yang dalam sengkalan diberi nilai 8. Kalau dibaca terbalik 822.

Dilihat dari sejarah kuno Nusantara, 822 Saka atau 900 Masehi merupakan masa kekuasaan Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Darmodayyamahasambu. Raja Mataram Kuno itu  dikenal banyak mengeluarkan prasasti.  Dua prasasti lain yang ditulis pada masa Dyah Balitung adalah Mantyasih (907 M) dan Prasasti Wanua Tengah III (908 M). Keduanya berisi versi urutan raja-raja yang pernah memimpin Mataram Kuno.

Sebagian isi Prasasti Tlu Ron (Sumber: IG Balai Arkeologi DI Yogyakarta)
Sebagian isi Prasasti Tlu Ron (Sumber: IG Balai Arkeologi DI Yogyakarta)
Prasasti Sumundul dan Pangaran

Sebelumnya di kompleks Candi Kedulan pernah ditemukan Prasasti Sumundul dan Prasasti Pananggaran.  Kedua prasasti bertarikh 791 Saka atau 869 Masehi.

Prasasti Tlu Ron menginformasikan kegagalan membuat bendungan dan saluran air. Baru di tangan orang keempat, proyek berhasil dituntaskan. Diduga kuat kegagalan itu karena intensitas gangguan banjir lahar dari Merapi.  

Raja Balitung kemudian membuat aturan pemanfaatan air irigasi. Kalau ada yang mengomersialkan, akan dikenai denda satu kati dan lima tahil emas, begitu aturan ketat sebagaimana tertulis pada prasasti.

Dari Prasasti Tlu Ron diketahui bahwa pada abad ke-9 itu raja pernah berburu burung kitiran (merpati/perkutut). Setelah berburu, raja mandi di pancuran.

Candi Kedulan di Sleman (Foto: Balai Pelestarian Cagar Budaya DI Yogyakarta)
Candi Kedulan di Sleman (Foto: Balai Pelestarian Cagar Budaya DI Yogyakarta)
Candi Kedulan

Candi Kedulan yang terletak di Dusun Kedulan, Sleman, DI Yogyakarta itu ditemukan oleh penambang pasir pada 1993. Dari sejumlah temuan awal berupa arca, diketahui Candi Kedulan bersifat Hindu. Pada 2018 Candi Kedulan selesai dipugar oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya DI Yogyakarta. Sejumlah penelitian terhadap kompleks Kedulan pernah dilakukan oleh Balai Arkeologi DI Yogyakarta dan Jurusan Arkeologi UGM.

Nama asli Candi Kedulan adalah Parahyangan i Tigaharyyan (Tiga Ron), sebagaimana Prasasti Tlu Ron.***

(Diolah dari laman Balai Pelestarian Cagar Budaya DI Yogyakarta dan Balai Arkeologi DI Yogyakarta)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun