Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Barang Jadul yang Sudah Hilang Ditelan Waktu Bisa Dilihat di Dalam Museum

9 Maret 2021   10:46 Diperbarui: 10 Maret 2021   10:55 1259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dulu kalau mengirim uang menggunakan poswesel seperti ini (Dokpri)

Museum memiliki beragam tipe, luas, kategori, ukuran, sifat, dan sebagainya sesuai penyelenggara atau pemilik museum. Tentu saja berdasarkan kemampuan keuangan yang mereka miliki. Sementara itu kepemilikan museum terbagi dua, yakni museum pemerintah dan museum swasta/pribadi. Berdasarkan tema koleksi, ada banyak kategori museum, seperti museum arkeologi, museum seni, museum sejarah, museum biografi atau tokoh, museum etnografi, museum rumah bersejarah, museum maritim, museum militer, museum sains, dan museum religi. 

Kehidupan masing-masing museum tergantung anggaran dan kreativitas pengelola museum. Buat museum-museum pemerintah sebenarnya anggaran tidak menjadi masalah. Sejak awal, museum-museum pemerintah tergantung dari APBN atau APBD. Lain halnya dengan museum swasta/pribadi yang menghidupi museumnya berdasarkan kreativitas, seperti mengadakan kegiatan berbayar. Beruntung, kalau si pemilik museum termasuk orang yang "gila museum" sehingga mampu menggelontorkan dana lumayan besar.

Istilah museum sendiri memiliki dua pandangan, yakni negatif dan positif. Banyak orang berpandangan negatif, misalnya museum itu kotor, gelap, dan menyeramkan. Bahkan museum menjadi tempat buangan orang-orang yang bermasalah, sebagaimana tergambar dari istilah "dimuseumkan". Segelintir instansi juga rupanya "alergi" terhadap istilah museum, terbukti dari sebutan yang mereka pakai, Smart Building atau Pusat Peragaan.

Namun sebaliknya beberapa institusi justru memakai nama museum karena dianggap bergengsi, meskipun sebenarnya bukanlah museum sesungguhnya. Museum seperti itu dihubungkan dengan generasi milenial yang senang narsis atau foto yang "instagramable". Museum Trick Art dan Museum Tiga Dimensi atau dengan nama lain, ada di beberapa kota. Koleksi museum seperti itu hanya gambar-gambar tiga dimensi sehingga pengunjung seolah-olah berada di atas permadani terbang dan di puncak tugu Monas, misalnya.

Kartu langganan trem masa 1950-an (Dokpri)
Kartu langganan trem masa 1950-an (Dokpri)
Peran museum

Kita bukan hanya akan 'kehilangan' mesin tik dan poswesel. Di era kecerdasan buatan ini tentu banyak hal akan hilang dan muncul. Contoh lain, tahun ini saya sudah dua kali cek tensi darah dengan alat elektrik. Bahkan bisa dilakukan sendiri dengan memasukkan tangan dan hanya memencet tombol. Setelah menunggu beberapa detik, hasilnya tertera pada alat tersebut. Cepat dan praktis. Tensimeter dengan selang panjang, beberapa tahun lagi pasti akan menjadi barang jadul. Karcis manual sekarang hampir tidak ada lagi karena digantikan uang elektronik.

Sudah saatnya peran museum ditingkatkan. Hilangnya barang-barang jadul karena dampak teknologi tentu harus diantisipasi sebaik mungkin. Museumlah yang bertanggung jawab melestarikan sekaligus memamerkan benda-benda yang sudah hilang ditelan waktu kepada anak cucu. Dengan demikian  generasi masa kini dan masa mendatang bisa mengetahui bagaimana penciptaan dan pencapaian benda-benda yang sudah sirna itu lewat museum.

Membicarakan museum tak ubahnya soal kecerdasan dan kepedulian kepada generasi masa kini dan generasi masa mendatang. Museum bukan hanya menjadi bagian dari pemerintah atau pemilik/pengelola museum. Tetapi juga menjadi tanggung jawab kita bersama, yakni asosiasi museum, komunitas museum, pemerhati museum, dan peminat museum. Kita harus bersinergi. Sinergi kuat, nama museum terangkat.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun