Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenangan Menulis Artikel di Media Cetak, dari Mesin Tik hingga Laptop

3 Maret 2021   11:11 Diperbarui: 3 Maret 2021   11:35 959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa 1980-an ketika mulai belajar menulis artikel untuk koran, saya menggunakan mesin tik manual pinjaman milik Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI. 

Sebelum itu saya membuat tulisan terlebih dulu dengan tulisan tangan. Tentu saja mengetik sambil menyunting. Selain itu, saya pun suka meminjam mesin tik milik Fakultas Sastra UI dan teman saya. Maklum belum kebeli mesin tik.

Kadang tulisan yang siap dikirim ke redaksi, ada beberapa koreksi tangan. Ini karena setelah dibaca ulang, ada kata yang tertinggal atau perlu diperbaiki. 

Dalam mengetik, saya menggunakan karbon. Tulisan asli dikirim ke redaksi. Tindasan tulisan untuk arsip pribadi. Sebagai jaga-jaga kalau tulisan tidak dimuat dan naskah tidak dikembalikan oleh redaksi.

Honorarium dari tulisan yang dimuat saya tabung. Pada masa 1980-an itu honorarium tulisan sebesar Rp10.000 sampai Rp20.000. Tentu cukup lumayan buat mahasiswa. Sekadar perbandingan, ketika itu biaya kuliah Rp15.000 per semester. Harga semangkok baso dan sepiring gado-gado Rp500.

Berkat menabung, akhirnya saya mampu memiliki mesin tik Olympia. Dulu saya membeli ke agennya di Jalan Hayam Wuruk dengan harga Rp40.000. Dari situlah saya mulai rajin berkarya.

Komputer meja tipe 286 lalu upgrade jadi 386 dan tipe 486 (Dokpri)
Komputer meja tipe 286 lalu upgrade jadi 386 dan tipe 486 (Dokpri)
Komputer 

Berkat honorarium pula, saya mampu membeli komputer. Kalau tidak salah pada 1987. Komputer saya menggunakan dua drive dengan disket ukuran 5 inch. Untuk mengoperasikan komputer ini kita memasukkan disket DOS (Disk Operating System) pada drive A. 

Setelah muncul DOS, kita ganti dengan program tertentu. Karena untuk mengetik, saya menggunakan program WS (WordStar). Program WS bisa menggunakan huruf elite atau pica. Juga bold, italic, dsb. Yang jelas, ukuran hurufnya tidak sebanyak pada program Word.

Disket 5 inch hanya mampu menyimpan file sebesar 640 KB. Kalau satu tulisan sebesar 20 KB, berarti mampu menampung 30 tulisan.

Dalam perjalanan waktu, teknologi komputer terus berkembang. Muncul disket berukuran 3 inch dengan kapasitas lebih besar, yakni 1,44 MB atau 1.440 KB. Berarti dua kali lipat dari disket 5 inch. Tak lama kemudian, beredar harddisk dengan ukuran 20 MB. Dengan harddisk, pekerjaan menjadi lebih leluasa.

Disket 5 1/4 inch dan disket 3 1/2 inch (Dokpri)
Disket 5 1/4 inch dan disket 3 1/2 inch (Dokpri)
Pentium

Komputer yang populer pertama berjenis 286, nama jenis prosesor. Kemudian tipe 386, 486, pentium 1, pentium 2, dan pentium 3.

Dari komputer meja, beberapa tahun kemudian lahir komputer jinjing atau laptop. Karena berukuran kecil dan mudah dimasukkan ke dalam tas, laptop disukai masyarakat. Terutama mereka yang memiliki mobilitas tinggi. Prosesor dalam laptop lebih canggih daripada prosesor pada komputer meja.

Tempat menyimpan data pun berubah dari disket ke CD (Compact Disc). Saat ini yang populer berupa USB atau flashdisk. File yang bisa disimpan pun berukuran luar biasa, kalau dibandingkan dengan disket. Yang terkecil 2 GB atau 2.000 MB atau 2.000.000 KB. Sejak beberapa tahun lalu muncul lagi tempat menyimpan file berukuran 1 TB (Terra Byte). Luar biasa perkembangan teknologi digital.

Dihitung-hitung sejak pertama kali mampu membeli komputer, saya sudah berganti beberapa kali. Dari komputer dengan monitor monokrom hingga monitor berwarna. Namun karena sering dipakai, yakni untuk menghasilkan tulisan, tentu saja jadi berharga murah dan berdaya guna tinggi. Beberapa CPU lama, juga monitor lama masih ada di gudang. Pernah ditawar Rp500.000 per buah, namun belum saya lepas. Itulah kenangan dari aktivitas pencat-pencet tombol secara manual hingga cuma sentuh keyboard.

Kenangan menulis memang indah, semacam olah raga jari sejak 1980-an. Hasilnya pun cukup lumayan, dari barang hingga teman. Menulis adalah pekerjaan seumur hidup yang tidak dibatasi waktu. Maka menulislah sebelum menulis itu dilarang.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun