Pertengahan April 2020 lalu warga Blitar dibuat geger oleh berita penemuan sebuah benda yang diduga mahkota Kerajaan Majapahit. Berita tersebut menjadi viral di media daring, termasuk di media sosial. Benda itu berwarna kekuningan, sehingga diduga emas. Disebutkan, seorang warga menemukan mahkota ketika akan mencari pasir di sungai dekat rumahnya.
Ternyata setelah dicek petugas berwenang, mahkota bermotif naga tersebut berbahan tembaga, dengan tinggi sekitar 30 sentimeter dan berat dua kilogram. Konon, sebelumnya penggali pasir tersebut bermimpi ada seorang wanita tua menitipkan barang berupa kemenyan. Keesokan paginya, ketika sedang menggali pasir di pinggir sungai, ada benda yang tersangkut cangkulnya.
Yang jelas 'penemuan' tersebut telah diketahui Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur sebagai instansi berwenang. Dalam dunia arkeologi memang dikenal istilah kompensasi, yakni imbalan untuk penemu benda purbakala.
Benda kuno atau benda purbakala, begitulah masyarakat awam menyebut, memang selalu menarik perhatian. Apalagi bila dikaitkan dengan faktor ekonomi. Harganya yang mahal, sering kali menyebabkan oknum-oknum tertentu memburu, mencuri, atau memalsukan benda-benda kuno.
Kasus yang pernah menghebohkan adalah lelang arca Aksobhya dari Candi Borobudur di AS pada 2008. Pihak balai lelang menganggap barang itu asli. Namun para perajin patung batu di Muntilan menilai arca tersebut buatan perajin setempat.Â
Hal ini terlihat dari pori-pori pada tubuh arca. Menurut mereka, sejak lama banyak kolektor barang antik dari dalam negeri dan mancanegara memesan arca Buddha sejenis dari para perajin. Kemudian lewat berbagai proses, arca itu "disulap" menjadi benda seni bernilai tinggi.
Di tangan pembuatnya arca itu hanya berharga jutaan rupiah. Namun, Balai Lelang Christie memasang harga pembukaan Rp 2,8 miliar. Tidak tertutup kemungkinan akan mencapai Rp 5 miliar, bahkan lebih, seandainya lelang berjalan mulus.
Benda kuno memang sejak lama menjadi perhatian dua kalangan. Pertama, kalangan ilmuwan, terutama arkeologi, karena mengandung nilai ilmu pengetahuan. Kedua, kalangan pedagang atau kolektor karena nilai ekonomi sekaligus nilai sosial yang tinggi.
Berawal dari adanya kolektor, pedagang, dan penggali harta karun inilah kemudian ilmu arkeologi berkembang. Dasarnya adalah arkeologi berawal dari masa yang jauh ke belakang. Karena itu benda-benda masa lampau banyak bertebaran di berbagai areal yang mudah dijangkau atau sulit dijangkau manusia.
Selain itu banyaknya pencurian, baik oleh kaum kolonialis yang secara terang-terangan membawa benda-benda kuno ke negaranya maupun masyarakat awam yang menjarahi situs-situs purbakala. Maka kemudian negara-negara maju menjadi pelopor adanya subdisiplin Arkeologi Publik.
Subdisiplin ini tentu saja berharap banyak pada publik. Dengan kata lain publik harus berperan-serta karena masa lampau itu milik semua orang. Publik inilah yang kemudian disebut arkeolog amatir. Tugas mereka adalah membantu arkeolog profesional di lapangan, antara lain melaporkan adanya temuan purbakala atau menyelesaikan sengketa lahan dengan masyarakat lain.
Negara pun mendukung. Misalnya di beberapa negara bagian AS, pembuatan jalan raya dibelokkan arahnya karena di lokasi yang sudah dipatok, masih ditemukan banyak benda arkeologis. Di Mesir, Presiden Hosni Mubarrak memerintahkan pemindahan jalan raya yang akan merusakkan bangunan piramida.Â
Sejak diluncurkan pada 1970-an Arkeologi Publik lama-kelamaan dikenal di Indonesia. Pelibatan publik sangat membantu pekerjaan arkeologi. Dua tahun lalu, tepatnya Maret 2019, warga Kota Malang dikejutkan dengan penemuan situs di tengah proyek jalan Tol Pandaan-Malang. Situs berupa struktur bata kuno itu diyakini merupakan bangunan suci dari masa pra Kerajaan Majapahit.
Berkat laporan masyarakat, tim arkeologi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur dapat mengekskavasi situs tersebut. Situs Sekarang, begitulah nama situs tersebut, untuk sementara aman dari pengrusakan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sempat meninjau situs tersebut.
Sebenarnya bukanlah pertama kali proyek pembangunan merusakkan situs arkeologi. Pembangunan jalan tol di Jakarta, pernah menghilangkan situs Tugu di Jakarta Utara. Pembangunan proyek perumahan, terutama di daerah aliran Kali Ciliwung, menghilangkan situs-situs dari masa prasejarah. Belum lagi pembongkaran bangunan-bangunan kuno di kota-kota besar.
Di Jakarta kasus yang pernah mencuat adalah pembangunan sirkuit Formula E di kawasan Monas, yang dipandang tak elok karena 'melecehkan' kawasan bersejarah hasil pemikiran pendiri bangsa.Â
Memang para arkeolog yang tergabung dalam Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) sempat membuat surat pernyataan keberatan atas pembangunan sirkuit yang kemudian dikutip media-media cetak dan media daring. Pembangunan sirkuit terhenti sementara karena adanya kasus Covid-19. Entah setelah wabah tersebut dinyatakan berakhir.
'Musuh' kalangan arkeologi terbilang banyak. Di luar itu ada lagi penggalian ilegal dan penyelaman (dari sungai dan laut) ilegal. Dua tahun lalu pernah terjadi penggalian ilegal di kawasan yang diduga berasal dari masa Kerajaan Sriwijaya. Banyak temuan emas kuno diambili warga dan dijual kepada para penadah. Sejak lama tak terhitung banyaknya penggalian ilegal di negeri kita karena wilayah kita yang sangat luas dengan hanya memiliki sedikit tim pengawas.
Pencurian benda purbakala juga terjadi sejak lama. Ini karena banyak arca kuno dan tinggalan lain berada di areal terbuka yang sulit pengawasan. Apalagi yang terletak di lereng pegunungan atau atas bukit.
Bukan hanya itu, pencuri pun semakin nekad. Beberapa museum pernah disatroni dan sampai sekarang belum ada kabar apakah pihak berwajib sudah menemukan kembali benda-benda curian itu ataukah belum.
Kita harus waspada, apalagi pada masa wabah Covid-19 ini. Karena ada pembatasan sosial, maka suasana menjadi sepi. Inilah yang mungkin akan dimanfaatkan para maling.
Sebagai gambaran, akhir Maret 2020 lalu lukisan karya Vincent van Gogh hilang dicuri dari Museum Singer Laren, Belanda. Lukisan yang hilang berjudul "Spring Garden". Van Gogh adalah pelukis legendaris Belanda, di samping Rembrandt. Saat itu museum tutup karena mengikuti aturan lockdown untuk memperlambat penyebaran Covid-19.
Pada akhir Maret di Bali juga terdapat gerak-gerik yang mencurigakan. Maklum di Bali terdapat beberapa museum seni. Karya seni memang sering menjadi incaran para maling.
Januari 2021 lalu Museum Negeri Sulawesi Tenggara sempat kecolongan. Beritanya ada [di sini].
Saat sepi karena wabah pandemi Covid-19, penjagaan di situs-situs arkeologi dan museum harus diperketat. Para maling selalu memanfaatkan kesempatan di dalam kesempitan. Untuk berjaga-jaga, sebaiknya pengelola cagar budaya dan pengelola museum memiliki pesawat CCTV.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H