Sebagai museum tertua di Jakarta, sejak lama Museum Nasional banyak didatangi pengunjung. Nama Museum Nasional dipakai sejak 1979. Pada periode 1962-1979 bernama Museum Pusat. Pada masa kolonial, museum itu bernama Museum van Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Museum Pusat mulai saya kunjungi sejak 1976. Ketika itu saya menjadi anggota Perpustakaan Museum Pusat, cikal bakal Perpustakaan Nasional. Hampir setiap Minggu saya ke sana untuk membaca dan meminjam buku. Saya termasuk anggota aktif. Di sela-sela ke perpustakaan, saya hampir selalu berkeliling museum.
Kunjungan ke Museum Nasional semakin sering saya lakukan ketika pada 1979 mulai menjadi mahasiswa Jurusan Arkeologi UI. Bahkan semakin sering ketika menjadi jurnalis. Kepala Museum Nasional yang juga dosen Jurusan Arkeologi, Pak Bambang Sumadio, sering mengundang saya. Bahkan ditraktir makan dan dikasih buku.
Pada masa 1980-an pengunjung Museum Nasional masih termasuk sepi. Hanya wisatawan asing yang antusias ke sana. Maklum mereka dibawa oleh biro perjalanan. Ada juga wisatawan mandiri yang backpacker, tapi jumlahnya sedikit.
Setiap Sabtu-Minggu kunjungan termasuk ramai. Sejumlah bis tampak parkir di halaman museum. Bahkan ada yang di jalan. Maklum tempat parkir museum masih minim. Gedung museum pun baru ada Gedung A yang dikenal sekarang. Perluasan gedung masih menjadi angan-angan.
Gedung A itu disebut Gedung Arca karena banyak arca terdapat di sana. Sebagian masyarakat menyebutnya Gedung Gajah atau Museum Gajah, itulah nama populer Museum Nasional.
Setiap Sabtu atau Minggu hampir selalu ada pentas kesenian tradisional di halaman belakang. Kesenian itu disiarkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI). Gedung RRI dengan Gedung Museum Nasional hanya berjarak sekitar 100 meter. Keduanya terletak di Jalan Medan Merdeka Barat.
Pada masa 1980-an berbagai pameran temporer pernah dilaksanakan di Museum Nasional. Pameran pertama yang saya lihat bertajuk pameran temuan keramik dari Pasar Ikan pada 1980. Penggerak pameran adalah Pak Bambang Sumadio (Kepala Museum Nasional), Pak Abu Ridho (kurator keramik), dan Pak Wahyono (arkeolog).
Pameran masih sederhana. Brosur pameran distensil. Beda dengan sekarang yang dicetak bagus. Label pameran masih ditulis tangan menggunakan spidol. Kebetulan saya ditunjuk menjadi penulis. Wah, bukan main pegal tangan saya.