Sesungguhnya dalam ilmu arkeologi terdapat tiga tahapan penelitian, yaitu observasi (pengumpulan data), analisis (pengolahan data), dan eksplanasi/interpretasi (penafsiran/kesimpulan). Ketika melakukan observasi, terdapat metode penelitian yang disebut ekskavasi.
Ekskavasi dilakukan untuk membuktikan hipotesis atau mendapatkan tinggalan purbakala yang kemudian diolah menjadi data. Data arkeologi bersifat sangat terbatas, rapuh, dan jika dipindahkan akan kehilangan konteksnya. Ekskavasi bersifat pengrusakan, artinya tanah yang digali tidak mungkin dikembalikan seperti keadaan semula. Oleh karena itu ekskavasi harus terekam dan terdokumentasi dengan baik. Ekskavasi juga harus dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Tujuan arkeologi bukan hanya menemukan benda, tetapi mengungkapkan segala keterangan mengenai tingkah laku manusia yang mencakup sistem ideologi, sistem sosial, dan sistem teknologi. Tujuan tersebut tercakup dalam tiga hal, yakni merekonstruksi sejarah kebudayaan, merekonstruksi cara-cara hidup masyarakat masa lalu, dan menggambarkan proses-proses budaya. Dalam melaksanakan ketiga tujuan pokok tersebut arkeolog berusaha menemukan, mengenali, melukiskan, dan menganalisis benda-benda arkeologi yang ditemukan secara utuh maupun pecahan.
Disayangkan, karena kebanyakan temuan arkeologi berupa pecahan, maka arkeologi dianggap tidak menarik. Bahkan, karena temuan arkeologi dipandang tidak fantastik atau spektakuler, maka arkeologi jarang sekali mendapat porsi pemberitaan di media dibandingkan masalah ekonomi dan politik. Padahal, baik utuhan maupun pecahan, tetap merupakan data arkeologi yang berharga untuk merekonstruksi sejarah kehidupan manusia.***
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H