Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Arkeologi Semu atau "Pseudo-archaeology", Penafsirannya Berdasarkan Imajinasi dan "Wangsit"

14 Februari 2021   15:16 Diperbarui: 15 Februari 2021   09:09 982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lokasi syuting film Tomb Raider di bangunan purbakala di Kamboja (Foto: travel.detik.com)

Sampai kini perhatian masyarakat kepada masa lampau belum menunjukkan hasil  menggembirakan. Banyaknya kasus pencurian barang antik, penggalian liar, dan pembongkaran bangunan lama, menunjukkan bahwa masyarakat belum memedulikan kehadiran warisan-warisan tersebut.   

Perhatian masyarakat baru diberikan untuk hal-hal yang bersifat fiktif. Terbukti banyak film berlatar arkeologi karya Hollywood selalu menjadi box office. Sebut saja film Tomb Raider yang diperankan aktris Angelina Jolie.  Film yang mengisahkan perburuan harta karun di situs Angkor Wat (Kamboja) ini, banyak menuai kekaguman penonton.  

Sebelumnya film sejenis yang sukses adalah sekuel Indiana Jones, kisah seorang arkeolog yang bertualang ke berbagai situs kuno untuk mencari harta karun di Amerika Tengah. Tokoh tersebut diperankan oleh aktor kawakan Harisson Ford.  

Sutradara Steven Spielberg yang membuat film sekuel Jurassic Park, juga menuai sukses. Dikisahkan telur dinosaurus yang sudah berusia berjuta tahun berhasil ditetaskan dengan teknik rekayasa genetika.

Di Indonesia, film-film laga berlatar sejarah seperti Saur Sepuh dan Tutur Tinular pun pernah menguasai gedung-gedung bioskop pada era 1980-an dan 1990-an. Sayangnya, ceritanya terlalu dilebih-lebihkan. Begitu pula dengan buku bertema Gajah Mada, Ken Arok, dan buku fiksi sejarah lain.

Lokasi syuting film Tomb Raider di bangunan purbakala di Kamboja (Foto: travel.detik.com)
Lokasi syuting film Tomb Raider di bangunan purbakala di Kamboja (Foto: travel.detik.com)
"Pseudo-archaeology" (Arkeologi Semu) 

Dunia fiksi pernah dihebohkan pula oleh karya Erich von Daniken pada 1970-an. Beberapa bukunya seperti Kereta Perang Para Dewa, Emas Para Dewa, Mencari Dewa-Dewa Kuno, dan Mukjizat Para Dewa berhasil membius jutaan pembaca. Khayalan von Daniken sulit dipercaya, namun dapat dicerna akal sehat.

Dikisahkan, di dataran tinggi Nazca (Peru), terdapat sebuah lajur tanah rata yang panjangnya lebih dari 50 kilometer. Para arkeolog menafsirkannya sebagai "jalan raya bikinan bangsa Inca". Namun von Daniken menganggapnya sebagai "landasan bandar udara untuk melayani penerbangan antarbintang", apalagi dia berhasil mengaitkannya dengan sejumlah temuan arkeologi.

Dengan imajinasinya von Daniken mengatakan pasti ada planet lain yang dihuni oleh makhluk sejenis manusia. Penghuni planet itu adalah makhluk-makhluk yang kecerdasan otak dan peradabannya melebihi manusia biasa. Berpuluh ribu tahun yang lalu makhluk-makhluk itu berkunjung ke bumi mengendarai wahana antariksa yang dapat mengarung angkasa dengan kecepatan supertinggi.

Kisah fiksi di film dan buku jelas merupakan Pseudo-archaeology atau Arkeologi Semu. Itu bukanlah ilmu pengetahuan karena penafsirannya lebih kepada imajinasi atau "wangsit" yang diterima seseorang. Di Indonesia Arkeologi Semu berkembang sejak beberapa sarjana asing menganggap Atlantis ada di Nusantara.

Ironisnya, Arkeologi Semu mampu menjungkirbalikkan berbagai pendapat, misalnya tentang Candi Borobudur dibangun oleh Nabi Suleiman atau Candi Borobudur bersifat Hindu. Bahkan,  di bawah situs Gunung Padang konon terdapat bangunan piramida yang menyimpan beberapa ton emas. Juga ada sepotong keris yang bisa menjadi jimat penguasa. Bisikan inilah yang rupanya mendorong segelintir orang untuk melakukan ekskavasi. Meskipun banyak mendapat tentangan, Arkeologi Semu tetap saja disukai masyarakat dan memiliki pendukung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun