Stutterheim, menurut Pak Werner, bukan hanya seorang arkeolog yang brilian, tetapi juga seorang humanis anti-kolonial yang kuat. Dia dan teman serta pasangan hidupnya, spesialis dan etnograf tari kelahiran Latvia, Claire Holt (1901-1970), adalah teman yang dalam dan jujur dari masyarakat dan budaya Indonesia. Ini didokumentasikan dalam tulisan mereka. Claire Holt mengaku mendapat ilmunya dengan "Duduk di kaki guru", dan gurunya adalah orang Indonesia seperti Pangeran Mangkunegoro VII (memerintah 1916-1944) dan ahli tari Jawa, Gusti Pangeran Ario Tedjokusumo dari Yogyakarta (1893-1974) (Burton, 2000).
Di mana Raden Saleh pada April 1866, ketika menurut Hoepermans, Raden Saleh menghancurkan Candi Simping (Candi Sumber Jati) di Blitar? Menurut Pak Werner, pada Mei 1865, Raden Saleh telah diberikan izin untuk melakukan perjalanan ke Wilayah Kerajaan (Vorstenlanden) di selatan-tengah Jawa untuk mengumpulkan manuskrip dan artefak untuk Batavian Society. Dalam perjalanannya itu, Raden Saleh sering tinggal di Yogyakarta.
Pak Werner memiliki sejumlah surat yang ditulis olehnya kepada Direktur Masyarakat Batavia sepanjang paruh kedua 1865 hingga awal 1866. Ternyata pada periode 14 Januari 1866 hingga 30 April 1866 Raden Saleh berada di Yogyakarta. Bahkan hingga Mei 1866 Raden Saleh masih berada di sana. Pada Juni 1866 Raden Saleh kembali ke Batavia untuk menghadiri rapat pengurus Serikat (Vergadering) pada 26 Juni.
Sebelumnya ditulis oleh Mas Yosi yang mengutip 'diary' Hoepermans bahwa Candi Simping masih berdiri, hingga 4 April 1866 Raden Saleh datang ke sana dan meratakannya.
"Tidak ada waktu baginya untuk lari cepat ke Blitar, menghancurkan candi, kembali ke Yogyakarta tepat waktu untuk menulis surat 30 April kepada ketua Lembaga dan kemudian kembali ke Batavia," kata Pak Werner.
Lanjut Pak Werner, Raden Saleh tidak akan bisa bepergian ke sana, karena paspornya hanya berlaku untuk Wilayah Pangeran (Vorstenlanden). Soalnya sejak 1830, Blitar bukan lagi bagian dari Vorstenlanden Jawa Tengah bagian selatan, melainkan sebuah distrik Karesidenan Belanda Kediri di Jawa Timur. "Saleh tidak memiliki izin untuk bepergian ke sana dan pemerintah kolonial Belanda sangat ketat dalam masalah tersebut," tegas Pak Werner.
Menurut Pak Werner selanjutnya, jika vandalisme itu terjadi bisa dibayangkan Residen Belanda di Kediri, G.M.W. van der Kaa, dan Pembantu Residen Blitar, F.H. Boers, belum lagi Bupati Blitar yang sedang menjabat, Raden Tumenggung Ario Adhi Negoro (menjabat 1863-1869), menyebutkan sesuatu tentang hal ini dalam laporannya kepada pemerintah kolonial. Lagi pula, bahkan Penduduk Belanda Yogyakarta sebelum Perang Jawa yang putus asa, Anthoni Hendrik Smissaert (1777-1832, menjabat 1823-1825), menyebutkan vandalisme yang dilakukan oleh Diponegoro dan pangeran Yogya lainnya pada patung-patung candi Hindu-Buddha seperti Kalasan dan Prambanan yang mereka bawa kembali untuk mempercantik rumah dan ruang meditasinya di tahun-tahun sebelum Perang Jawa (Carey 2012: 101 catatan 60). Sebaliknya, semua pejabat penting pemerintah Belanda dan Jawa di Kediri dan Blitar pada pertengahan tahun 1860-an diam tentang masalah ini.
Bagaimana kedudukan Raden Saleh dengan Batavian Society sebagai salah satu dari sedikit anggota nondewan yang secara teratur berkonsultasi dan dijunjung tinggi oleh Ketua dan Dewan Pengurus Society (Groot 2009: 439-40)? "Pasti akan terkena sanksi jika dia adalah perusak candi," kata Pak Werner.
Terima kasih Pak Werner Kraus atas informasi berharga ini. Terima kasih juga untuk Pak Peter Carey. Salam sehat.***
Sumber pustaka:Â
- Burton, Deena Elise 2000. "Sitting at the feet of gurus": The Life and Ethnography of Claire Holt. Michigan: University Microfilms.
- Carey, Peter 2012. Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Jakarta: KPG. Tiga jilid.
- Groot, Hans 2009. Van Batavia naar Weltevreden; Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1778-1867. Leiden: Brill.
- Stutterheim, W.F. 1925. "Een Fuselier uit de Vorige Eeuw als Oudheidkundige", Djawa 5:73-79.