Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Topik Humaniora di Kompasiana Jarang Tersentuh Pembaca namun Informatif, Edukatif, dan Inspiratif

28 Januari 2021   11:08 Diperbarui: 28 Januari 2021   11:38 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Narasumber dan komentator webinar (Foto: Pak Bambang Widodo)

Jurnalisme berkembang pesat seiring kemajuan teknologi. Sejak adanya internet, ditambah beberapa media sosial, jagat maya semakin ramai dengan kemunculan berbagai golongan 'wartawan' dan buzzer.

Akibatnya media-media sosial ramai dengan tulisan yang berasal dari golongan yang pro dan kontra pemerintah, kalau boleh disebut demikian. Masalah ujaran kebencian dan SARA hampir selalu menghiasi jagat maya, terutama menjelang pilpres dan pilkada. Bahkan sampai menjadi kasus pidana karena diadukan ke kepolisian.

Lain halnya kalau bicara museum, sejarah, atau budaya. Di sini kita memperoleh informasi yang mencerdaskan. Dengan demikian keilmuan kita bertambah, hati pun menjadi adem.

Narasumber dan komentator webinar (Foto: Pak Bambang Widodo)
Narasumber dan komentator webinar (Foto: Pak Bambang Widodo)
 Jurnalisme bermutu

Atas prakarsa Museum Benteng Heritage, Rabu malam, 27 Januari 2021 diselenggarakan webinar bertajuk "Bagaimana menilai jurnalisme bermutu dalam tsunami informasi?" Pembicara utama dalam webinar itu Pak Andreas Harsono dan Pak Peter Carey. Pak Andreas seorang wartawan dan peneliti, sementara Pak Peter seorang penulis dan peneliti, terutama tentang Diponegoro. Moderator acara Pak Udaya Halim dan Ibu Musiana.  

Banyak hal dikemukakan Pak Andreas dalam makalahnya "Jurnalisme dalam Era Internet", antara lain tentang bagaimana mengukur derajat kepercayaan publik, dari pihak pemerintahkah atau dari pihak lain. Apakah menulis bisa obyektif, merupakan masalah lain yang dikemukakan Pak Andreas. Misalnya apa yang buat praktisi Jurnalisme, termasuk netizen, bisa dipercaya masyarakat dan bagaimana menilai mutu media.

Menurut Pak Andreas tugas utama praktisi jurnalisme, termasuk wartawan, memberitakan kebenaran. Kebenaran fungsional tepatnya, yakni kebenaran tentang fakta yang ditemukan saat itu. Tulisan seorang wartawan, katanya, bisa direvisi seperti halnya ilmu pengetahuan dan sejarah. Masuk akal karena berbagai data baru selalu muncul pada masa berikutnya.

Tentang esensi jurnalisme juga dikemukakan Pak Andreas. "Esensi jurnalisme adalah verifikasi," kata beliau. Verifikasi diperlukan agar tulisan tidak bersifat fake atau hoaks. Juga untuk membedakan dari hiburan, propaganda, fiksi, infotainmen, atau seni.

Selain itu wartawan harus bersikap setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi dalam liputan. Untuk itu wartawan harus menyebutkan nama lengkap, tujuan wawancara, email, dan media sosial miliknya. Nama narasumber pun harus disebutkan.

Sikap lain yang diperlukan rendah hati. Verifikasi, kata Pak Andreas selanjutnya, perlu pikiran terbuka dengan pertanyaan bersifat 5W 1H (what, who, where, when, why, dan how), bukan pertanyaan tertutup dengan jawaban ya/tidak.

Untuk kasus-kasus tertentu, kata Pak Andreas, nama narasumber boleh anonim. Misalnya untuk keselamatan atau terancam bila identitasnya kita buka. Namun sumber anonim harus lebih dari satu.

Hal lain yang diperlukan, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. "Wartawan boleh punya opini, namun fakta adalah suci," kata Pak Andreas. 

Peranan praktisi jurnalisme era internet (Foto: tangkapan layar makalah Pak Andreas)
Peranan praktisi jurnalisme era internet (Foto: tangkapan layar makalah Pak Andreas)
Peneliti

Pak Peter yang berbicara kemudian juga mengungkapkan betapa relevannya jurnalisme dengan penelitian yang beliau lakukan. Menulis sejarah memang harus hati-hati. Kita harus bisa memilih dan memilah sumber-sumber utama dan sumber pendukung.

Ikut memberikan komentar Pak Sumardiansyah. Beliau adalah Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia. Pak Nunus Supardi juga ikut urun rembug. Beliau seorang pemerhati kebudayaan dan banyak menulis buku-buku kebudayaan. Demikian juga penulis buku Pak Junardy dan Ketua Barahmus DIY Ki Bambang Widodo.

Saya sendiri diminta menyampaikan pengalaman menulis. Dulu memang saya pernah menjadi wartawan, yang lebih banyak bergerak di bidang arkeologi dan museum. Maklum saya seorang lulusan arkeologi. Namun kemudian menjadi penulis lepas dan bloger. Selain memiliki blog pribadi, saya pun kerap menulis di Kompasiana. Dulu menulis dengan bahasa formal, kini menulis dengan bahasa nonformal atau bahasa blog.

Menulis topik Humaniora di Kompasiana memang jarang tersentuh pembaca. Namun kita perlu konsisten. Lain halnya kalau tulisan tentang selebriti atau politik. Terus terang, saya iri dengan tulisan bertopik politik atau pemerintahan di Kompasiana, yang mampu mengundang banyak pembaca.

Betapapun tulisan saya berdasarkan data dan fakta, jadi tidak hoaks. Kadang ada juga menyelipkan opini. Meskipun diakses sedikit pembaca, yang penting informatif, edukatif, inspiratif, dan terkadang rekreatif. Menulis ibarat vaksin Covid. Biarpun tidak ada honorarium tapi bahagia.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun