Hal lain yang diperlukan, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. "Wartawan boleh punya opini, namun fakta adalah suci," kata Pak Andreas.Â
Pak Peter yang berbicara kemudian juga mengungkapkan betapa relevannya jurnalisme dengan penelitian yang beliau lakukan. Menulis sejarah memang harus hati-hati. Kita harus bisa memilih dan memilah sumber-sumber utama dan sumber pendukung.
Ikut memberikan komentar Pak Sumardiansyah. Beliau adalah Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia. Pak Nunus Supardi juga ikut urun rembug. Beliau seorang pemerhati kebudayaan dan banyak menulis buku-buku kebudayaan. Demikian juga penulis buku Pak Junardy dan Ketua Barahmus DIY Ki Bambang Widodo.
Saya sendiri diminta menyampaikan pengalaman menulis. Dulu memang saya pernah menjadi wartawan, yang lebih banyak bergerak di bidang arkeologi dan museum. Maklum saya seorang lulusan arkeologi. Namun kemudian menjadi penulis lepas dan bloger. Selain memiliki blog pribadi, saya pun kerap menulis di Kompasiana. Dulu menulis dengan bahasa formal, kini menulis dengan bahasa nonformal atau bahasa blog.
Menulis topik Humaniora di Kompasiana memang jarang tersentuh pembaca. Namun kita perlu konsisten. Lain halnya kalau tulisan tentang selebriti atau politik. Terus terang, saya iri dengan tulisan bertopik politik atau pemerintahan di Kompasiana, yang mampu mengundang banyak pembaca.
Betapapun tulisan saya berdasarkan data dan fakta, jadi tidak hoaks. Kadang ada juga menyelipkan opini. Meskipun diakses sedikit pembaca, yang penting informatif, edukatif, inspiratif, dan terkadang rekreatif. Menulis ibarat vaksin Covid. Biarpun tidak ada honorarium tapi bahagia.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H