Jurnalisme berkembang pesat seiring kemajuan teknologi. Sejak adanya internet, ditambah beberapa media sosial, jagat maya semakin ramai dengan kemunculan berbagai golongan 'wartawan' dan buzzer.
Akibatnya media-media sosial ramai dengan tulisan yang berasal dari golongan yang pro dan kontra pemerintah, kalau boleh disebut demikian. Masalah ujaran kebencian dan SARA hampir selalu menghiasi jagat maya, terutama menjelang pilpres dan pilkada. Bahkan sampai menjadi kasus pidana karena diadukan ke kepolisian.
Lain halnya kalau bicara museum, sejarah, atau budaya. Di sini kita memperoleh informasi yang mencerdaskan. Dengan demikian keilmuan kita bertambah, hati pun menjadi adem.
Atas prakarsa Museum Benteng Heritage, Rabu malam, 27 Januari 2021 diselenggarakan webinar bertajuk "Bagaimana menilai jurnalisme bermutu dalam tsunami informasi?" Pembicara utama dalam webinar itu Pak Andreas Harsono dan Pak Peter Carey. Pak Andreas seorang wartawan dan peneliti, sementara Pak Peter seorang penulis dan peneliti, terutama tentang Diponegoro. Moderator acara Pak Udaya Halim dan Ibu Musiana. Â
Banyak hal dikemukakan Pak Andreas dalam makalahnya "Jurnalisme dalam Era Internet", antara lain tentang bagaimana mengukur derajat kepercayaan publik, dari pihak pemerintahkah atau dari pihak lain. Apakah menulis bisa obyektif, merupakan masalah lain yang dikemukakan Pak Andreas. Misalnya apa yang buat praktisi Jurnalisme, termasuk netizen, bisa dipercaya masyarakat dan bagaimana menilai mutu media.
Menurut Pak Andreas tugas utama praktisi jurnalisme, termasuk wartawan, memberitakan kebenaran. Kebenaran fungsional tepatnya, yakni kebenaran tentang fakta yang ditemukan saat itu. Tulisan seorang wartawan, katanya, bisa direvisi seperti halnya ilmu pengetahuan dan sejarah. Masuk akal karena berbagai data baru selalu muncul pada masa berikutnya.
Tentang esensi jurnalisme juga dikemukakan Pak Andreas. "Esensi jurnalisme adalah verifikasi," kata beliau. Verifikasi diperlukan agar tulisan tidak bersifat fake atau hoaks. Juga untuk membedakan dari hiburan, propaganda, fiksi, infotainmen, atau seni.
Selain itu wartawan harus bersikap setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi dalam liputan. Untuk itu wartawan harus menyebutkan nama lengkap, tujuan wawancara, email, dan media sosial miliknya. Nama narasumber pun harus disebutkan.
Sikap lain yang diperlukan rendah hati. Verifikasi, kata Pak Andreas selanjutnya, perlu pikiran terbuka dengan pertanyaan bersifat 5W 1H (what, who, where, when, why, dan how), bukan pertanyaan tertutup dengan jawaban ya/tidak.
Untuk kasus-kasus tertentu, kata Pak Andreas, nama narasumber boleh anonim. Misalnya untuk keselamatan atau terancam bila identitasnya kita buka. Namun sumber anonim harus lebih dari satu.