Saya mulai ke Museum Nasional pada 1976. Sebenarnya tujuan utama bukan melihat-lihat koleksi tapi berkunjung ke perpustakaan. Waktu itu museum terbesar di Jakarta ada di dalam museum, namanya Perpustakaan Museum Pusat. Museum Pusat merupakan nama lama Museum Nasional. Nama Museum Nasional baru dipakai pada 1979 sampai sekarang.
Saya sering melihat-lihat koleksi museum di kala senggang. Jadi lumayan hapal di mana koleksi itu. Bisa jadi karena sering masuk museum dan melihat koleksi benda kuno, saya masuk bidang arkeologi.
Perpustakaan Museum Pusat ada di gedung induk, lokasinya di sebelah kiri. Sekarang menjadi ruang tekstil dan ruang keramik di Gedung A. Pada 2007 Presiden SBY meresmikan Gedung B, yang juga digunakan sebagai kantor.
Dulu Gedung A sangat sempit. Maklum jumlah koleksi sangat banyak. Bahkan ruang kerja bersatu dengan gudang. Saya sering berkunjung ke ruangan Pak Abu Ridho. Beliau seorang kurator keramik bertaraf internasional.
Kantin atau warung makan ada di bagian kanan. Ruang konservasi, ruang numismatik, dan beberapa kamar ada juga di sini. Ruangan di sini kanan bertingkat. Mungkin ruangan-ruangan itu dibuat pada masa kemudian.
Waktu itu, 1976-1977, kalau ke Museum Pusat, saya naik bis ke terminal Lapangan Banteng. Dari Lapangan Banteng saya jalan kaki menembus taman monas.
Mulai 1980 saya lebih sering ke Museum Nasional. Maklum sejak 1979 saya kuliah di Seksi Arkeologi UI, nama waktu itu. Baru 1983 menjadi Jurusan Arkeologi UI. Kepala Museum Nasional Pak Bambang Soemadio, juga dosen mata kuliah Pengantar Arkeologi.
Seingat saya ketika berkunjung ke Museum Nasional, karcis masuknya hanya Rp100. Bahkan untuk pengunjung rombongan masih ada diskon. Saya sih gratis masuk sana karena punya kartu anggota Perpustakaan Museum Pusat.
Pada 1980 ketika mulai sering ke Museum Nasional, saya lihat perpustakaan mulai dikosongkan. Kelak akan menjadi Perpustakaan Nasional yang sekarang berada di Jalan Medan Merdeka Selatan. Sebelumnya Perpustakaan Nasional dipusatkan di Jalan Salemba Raya.
Dengan berpindahnya ruang layanan dan ruang koleksi buku, maka ruangan Museum Nasional terasa lebih luas. Namun masih saja terasa sempit bila dibandingkan dengan jumlah koleksi. Waktu itu negosiasi untuk mendapatkan gedung di sebelahnya terasa alot. Baru pada 1990-an berhasil dan sedikit demi sedikit dibangun gedung baru. Ini pun terasa sempit sehingga Museum Nasional membeli tanah untuk menjadi gudang koleksi di dekat TMII, Jakarta Timur.
Lama sekali karcis masuk Museum Nasional tidak naik. Tetap Rp100. Banyak warga masyarakat sempat 'protes' karena karcis masuk lebih murah daripada biaya parkir atau biaya masuk toilet. Padahal di dalam museum banyak informasi berharga. Protes keras justru dilontarkan oleh wisatawan mancanegara. Dulu harga untuk wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara sama.
Pada 2000-an karcis masuk menjadi Rp500. Entah tahun berapa dinaikkan drastis menjadi Rp5.000 untuk wisatawan nusantara dan Rp10.000 untuk wisatawan mancanegara. Untuk anak-anak biaya tentu lebih rendah. Begitu pula untuk rombongan, ada diskon lagi.
Kalau dihitung sejak 1976, ternyata saya sudah 45 tahun berkunjung ke Museum Nasional. Terakhir akhir Desember 2020 saya ke sana. Itu pun sebentar sekali karena keperluan ambil buku dan kalender. Maklum pandemi Covid masih belum bisa diajak kompromi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H