Bung Karno ikut memilih semua benda seni untuk memperindah interior. Tidak heran HI memiliki karya-karya seni bernilai tinggi, seperti patung karya Trubus dan relief batu pahat berukuran 24 meter x 3 meter yang menggambarkan kehidupan masyarakat Bali karya Sanggar Sela Biangun dari Yogyakarta. HI masih dilengkapi mozaik besar bergambar tarian tradisional Indonesia karya G. Sidharta dan lukisan flora fauna karya Lee Man Fong. Dalam bukunya tadi, Arifin Pasaribu juga menyebut adanya prasasti yang berisi sajak karya Ramadhan K.H.
Tentang lukisan Lee Man Fong ada beritanya [di sini].
Ketika pada 1974 akan berlangsung konperensi pariwisata PATA, beberapa hotel berbintang mulai berdiri di sepanjang Jalan M.H. Thamrin dan Jalan Sudirman, termasuk di wilayah-wilayah penghubung. Sejak adanya beberapa hotel berbintang, maka HI memiliki saingan. Seperti dalam bisnis, siapa yang kuat maka dialah yang berkuasa.
Sebagai BUMN, PT Hotel Indonesia Internasional sulit bersaing dengan perusahaan swasta. Pada 30 April 2004 HI berhenti beroperasi. Sejak itu pengelolaan HI di bawah Grup Djarum. Rencana pengelolaan selama 30 tahun bahkan kemudian diperpanjang 20 tahun sehingga akan berakhir pada 2055. Sejak kerja sama itu nama HI diubah menjadi HI Kempinski. Grup Kempinski berasal dari Jerman.
Beberapa bagian HI telah dibongkar. Kini hanya menyisakan bangunan utama yang sudah berstatus cagar budaya. Yang menjadi pertanyaan, masih lengkapkah karya-karya seni yang pernah menjadi bagian dari HI? Kalaupun masih tersisa, di manakah tempat penyimpanan karya seni itu?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H