Ketika mengidentifikasi jenazah korban kecelakaan pesawat terbang atau bencana alam, hampir selalu kita dengar istilah Ante Mortem dan Post Mortem.Â
Biasanya kedua istilah dihubungkan dengan penemuan potongan organ tubuh manusia. Namun bukan tidak mungkin potongan itu mampu diidentifikasi atau diinvestigasi.
Lain halnya kalau kita menemukan jenazah korban pembunuhan yang masih utuh atau lengkap. Biasanya hanya dibutuhkan data sidik jari.Â
Data sidik jari sering kali sudah ada pada basis data milik pemerintah atau lembaga pendidikan, seperti ijazah, KTP, paspor, visa, surat nikah, dan absensi sidik jari. Lihat tulisan [yang ini] dan [yang itu].
Dunia kedokteran mengenal istilah Dermatoglifi. Dermatoglifi digunakan dalam kedokteran forensik untuk mengidentifikasi individu dalam konteks forensik.Â
Di negara kita pengujian DNA dan karakteristik gigi-geligi belum populer. Yang paling mudah tentu data Ante Mortem berupa sidik jari tangan. Data Ante Mortem adalah data kita semasa hidup atau boleh dibilang sebelum terjadi kecelakaan.Â
Kita sudah memiliki banyak tabungan data sidik jari dalam dokumen. Juga dalam benda atau properti korban yang terpegang tangan. Inilah data Ante Mortem dalam bentuk lain.
Menurut pakar antropologi forensik dari UGM, Pak Rusyad Adi Suriyanto, rekaman dermatoglifi (rigi-rigi kulit, yang dapat berupa sidik jari-jemari dan telapak tangan, sidik jari-jemari kaki dan telapak kaki, sidik palatum dan sidik bibir) merupakan salah satu data primer dalam identifikasi forensik. Â Jenazah tidak dikenal diidentifikasi di dalam ruang autopsi forensik.Â
Hasil identifikasinya dikenal sebagai data Post Mortem (pascamerta: data badan dan asosiasinya saat si empunya sudah mati). Â
"Jenazah ini merupakan korban beragam peristiwa bencana, baik bencana alam (gempa, tsunami, banjir, longsong, badai, gelombang pasang, dst) maupun bencana karena tindakan manusia (sabotase, bom, kecelakaan pesawat, kapal, kereta, konflik politik, perang, dst)," jelas Pak Rusyad sebagaimana beliau tulis dalam akun Facebook-nya.
Dunia kedokteran juga mengenal Cheiloscopy, yakni teknik investigasi forensik yang berhubungan dengan identifikasi manusia berdasarkan bekas-bekas bibir.Â
Sidik bibir yang unik itu dapat membantu identifikasi personal. Â Data sidik bibir sebagai data Ante Mortem sebenarnya mudah diperoleh, terutama mereka yang memiliki akun media sosial. Â
"Data Ante Mortem sidik bibir tersedia melimpah dalam teknologi seluler dan digital karena dapat diakses dari foto-foto close up wajah dan selfie dari arsip digital, internet, CCTV, dan media sosial," kata Pak Rusyad.
Nah, inilah keuntungan kita kalau sering narsis di media sosial. Â Bahkan di mana-mana sudah tersedia perlengkapan CCTV.Â
Ternyata peralatan yang tadinya untuk mengidentifikasi para pelaku kriminal, seperti pencurian, kecelakaan di jalan raya, sampai pelaku bom bunuh diri, kita menjadi tabungan data Ante Mortem sidik bibir. Maka sering-seringlah menatap CCTV dalam beberapa detik saja.
Jadi untuk mengidentifikasi potongan tubuh, diperlukan data primer berupa data karakteristik odontologis (gigi-geligi), DNA, atau dermatoglifi.Â
Untuk DNA diperlukan perbandingan dengan keluarga kandung seperti ayah, ibu, kakak, adik, dan anak. Dalam hal ini data sekunder antara lain berupa dokumen, foto ronsen, pakaian, tinggi badan, cacat, tato, dan benda yang dikenakan.
Gigi-geligi menjadi bagian penting dari data karena mampu bertahan lama. Sebagai contoh gigi manusia purba yang berusia ribuan tahun sering diteliti Pak Rusyad. Rambut penting untuk mengetahui DNA seseorang.
Bila ada kecocokan antara data Ante Mortem dan Post Mortem, maka dalam breaking news atau siaran pers biasanya juru bicara akan mengatakan, "Jenazah dalam kantong A, tidak terbantahkan adalah Polan".*** Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H