Perairan Nusantara kita pernah menjadi jalur pelayaran penting antarnegara di masa lampau. Posisi kita memang strategis. Kemungkinan dulu menjadi jalur rempah dan jalur sutera laut. Di antara perairan itu, perairan di sekitar Sumatera menjadi jalur utama perdagangan.
Sebagai gambaran, di perairan Riau pada 1980-an pernah berlangsung penjarahan besar-besaran terhadap muatan kapal kargo kuno yang tenggelam.
Setidaknya kita ingat kasus sindikat internasional dengan Hatcher sebagai motornya. Benda-benda jarahan dilelang di mancanegara dengan hasil jutaan dollar. Dan kita tidak kebagian apa-apa, malah seorang arkeolog, Santoso Pribadi, gugur ketika melakukan investigasi. Â Belum lagi kapal-kapal yang tenggelam di perairan Belitung. Â
Sebenarnya sudah lama diketahui banyaknya tinggalan arkeologi bawah air berupa situs kapal tenggelam di wilayah Kepulauan Riau. Juga maraknya informasi penjarahan situs kapal karam. Sayang kita kalah cepat dari mereka.
Jumat kemarin, 18 Desember 2020, Â Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengadakan webinar tentang hasil riset di Pulau Abang, Kepulauan Riau. Lima arkeolog dari berbagai institusi berbicara pada webinar itu.
Diawali Ibu Nia Naelul Hasanah Ridwan dari Loka Riset KKP, lalu Bapak Agus Sudaryadi dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi, Bapak Stanov Purnawibowo dari Balai Arkeologi Sumatera Utara, Bapak Teguh Hidayat dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, dan Bapak Roby Ardiwidjaja dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Tim Ibu Nia pernah melakukan penyelaman. Mereka melakukan pendataan, pemotretan, dan mengangkat benda-benda yang ada sebagai sampel. Boleh dibilang mereka hanya kebagian sisa-sisa yang umumnya tidak utuh lagi. Sebagian besar benda dipastikan sudah diambili sedikit demi sedikit atau sekaligus dengan teknologi modern. Meskipun berupa sisa, tapi informasi tersebut tetap berharga untuk penyusunan narasi sejarah.
Menurut Ibu Nia, hasil riset menunjukkan adanya sebuah situs kapal tenggelam di kedalaman 25 meter dengan peninggalan artefak berupa gerabah stoneware bentuk kendi yang diproduksi di Sawankhalok (Thailand) dan guci stoneware produksi Singburi (Thailand) dari abad ke-16 dan 17 M. Ada lagi porselen putih biru Cina dari Masa Dinasti Ming, dan fragmen kayu kapal berumur 400-700 tahun. Â
Berdasarkan hasil pemodelan hidro oseanografi, diprediksi bahwa dominan arah arus bergerak ke arah Barat Daya. Maka jika dimodelkan mundur pada 1600-an, diasumsikan bahwa kapal bergerak mengikuti arah gerak arus laut melalui Pulau Teban hingga mencapai Pulau Abang dan akhirnya karam di perairan Pulau Abang. Â Â Â
Untuk penyelamatan situs tersebut Ibu Nia membuat beberapa rekomendasi, di antaranya membuat semacam jaring atau sangkar, memberi tanda pelampung, dan mengembangkan wisata selam.