Sebagai sumber sejarah kuno, arkeolog tidak memperhatikan benda pecahan atau benda utuhan. Yang penting informasi yang ada pada benda tersebut.Â
Dari sinilah bisa dirangkai narasi atau cerita sejarah. Adanya konteks sejarah di mata peneliti sangat penting karena bisa bercerita tentang benda-benda temuan lain. Cerita akan berbeda bila ditemukan keramik tunggal dengan keramik pada himpunan temuan, seperti keramik bersama benda logam dan benda batu.
Lain halnya sebagai benda seni yang dimiliki para kolektor. Para kolektor tentu mengejar koleksi dengan kualitas tinggi, apalagi utuh dan langka. Keramik dengan grade super ini tentu sangat mahal. Begitulah kepuasan seorang kolektor.
Hari pertama pada malam hari, para peserta mulai belajar mengidentifikasi keramik. Ada delapan potong keramik asal kapal tenggelam yang dipajang di atas meja. Setiap peserta diminta mengidentifikasi keramik pilihannya, tentu dipandu Ibu Widiati dan Ibu Ekowati. Dibantu pula oleh Ibu Yusmaini dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Hari kedua peserta diajak mengidentifikasi keramik di Galeri Maritim Kementerian Kelautan dan Perikanan. Keramik-keramik di tempat itu berasal dari kapal kargo yang tenggelam di perairan Nusantara, seperti Cirebon, Pulau Buaya, dan Kepulauan Seribu.
Menurut Ibu Widiati dan Ibu Ekowati, kegiatan pelatihan selama dua hari itu hanya menjadi langkah awal. Perlu 'jam terbang' yang tinggi untuk memahami lebih jauh tentang keramik. Para peserta yang terdiri atas staf museum, mahasiswa, komunitas, dan mereka yang berkecimpung di bidang permuseuman dan kepurbakalaan berharap ada kegiatan lanjutan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H