Menutup akhir tahun, Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komda Jabodetabek bekerja sama dengan Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan (PTLK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan pelatihan bertema Identifikasi Keramik dan Adaptasi Kebiasaan Baru dalam Penelitian Arkeologi. Kegiatan itu berlangsung pada 16 dan 17 Desember 2020 secara luring untuk peserta terbatas 20 orang di Hotel Millenium Sirih dan Galeri Maritim Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tentu saja dengan tetap mengikuti protokol kesehatan. Kegiatan juga berlangsung secara daring lewat aplikasi Zoom dan Youtube.
Kegiatan diawali sambutan Ketua Panitia Ibu Lien Dwiari, lalu Ketua Komda IAAI Jabodetabek Ibu Dedah Rufaedah S. Handari, dan Ketua Umum IAAI Pusat Ibu Wiwin Djuwita. Secara resmi kegiatan dibuka oleh Direktur PTLK Bapak Judi Wahjudin.
Dalam masa pandemi ini memang penelitian lapangan arkeologi dilakukan sangat terbatas. Di lapangan, para arkeolog melibatkan penduduk lokal. Kalau malam menginap di hotel. Menurut dokter Rebekka Daulay, M. Epid, protokol kesehatan dengan 3M tetap harus dilakukan secara ketat.
Virus, katanya, dapat bertahan 72 jam pada permukaan plastik dan stainless steel, kurang dari 24 jam pada kardus, dan sekitar 4 jam pada tembaga. Namun virus sensitif pada sinar ultraviolet dan panas. Selain itu dapat dinonaktifkan dengan pelarut lemak (lipid solvents) seperti eter, etanol 75%, disinfektan yang mengandung klorin, asam peroksiasetat, dan khloroform.
Namun disayangkan oleh dokter Rebekka, kepatuhan protokol kesehatan oleh masyarakat cenderung menurun. Misalnya memakai masker di bawah hidung dan jarang mencuci tangan. Untuk para peneliti diingatkan agar memastikan tetap sehat sebelum bekerja atau bepergian, mandi setelah sampai rumah, bersihkan alat-alat kerja, konsumsi gizi seimbang, melakukan olahraga, dan cukup tidur.
Tentang masker, menurut dokter Rebekka, sebaiknya diganti setiap 4-6 jam. Untuk masker nonkain, boleh dibuang. Namun masker kain bisa dicuci. Pada sesi pertama itu narasumber didampingi moderator Ibu Triwuryani.
Acara inti berupa pengenalan keramik. Tentu saja keramik kuno. Ibu Widiati mengungkapkan asal-usul kata keramik sebagai barang pecah belah atau barang yang dibuat dari tanah liat yang dibakar. Saat ini yang dikenal sebagai keramik adalah peralatan rumah seperti guci dan pot serta perlengkapan makan seperti mangkok dan piring.
Ditinjau dari masanya, ada keramik yang dibuat pada masa lalu dan ada keramik yang dibuat pada masa sekarang. Bahkan ada yang sengaja dibuat meniru keramik masa lalu.
Khusus keramik kuno, menurut Ibu Widiati, biasanya diperoleh dengan cara pencarian dan penemuan, baik di daratan maupun perairan. Ada juga keramik kuno hasil warisan, pembelian, pemberian, dan lain-lain.
Dalam arkeologi benda keramik menjadi penting karena dipandang artefak bertanggal mutlak. "Keramik menjadi bukti dari kehidupan masa lalu. Benda ini terawetkan karena bahan dasarnya kuat dan tidak mudah hancur. Maka keramik dapat membantu upaya rekonstruksi kehidupan masa lalu," kata Ibu Widiati.
Keramik sendiri terdiri atas dua jenis bahan, yakni porselin dari tanah kaolin dibakar dalam suhu tinggi 1.350 derajat. Bahan lain berupa batuan atau stoneware dari kaolin. Suhu pembakarannya sekitar 1.150 derajat. Â Keramik-keramik yang ditemukan di Nusantara berasal dari berbagai negara seperti Tiongkok, Jepang, Thailand, Vietnam, Timur Tengah, dan Eropa.
Keramik bisa masuk ke Nusantara mungkin karena menjadi barang dagang, barang bawaan, barang hadiah, atau barang pesanan. Karena itu keramik kuno memiliki berbagai kualitas yang dapat diidentifikasi oleh ahlinya yang disebut keramolog. Kalau berbahan kasar dan ditemukan dalam jumlah banyak, misalnya, ditafsirkan sebagai barang dagang sehari-hari untuk masyarakat. Sebaliknya kalau ditemukan dalam jumlah sedikit dan buatannya halus, dikatakan sebagai hadiah untuk pejabat atau raja.
Keramik banyak diperoleh dari hasil ekskavasi arkeologi di berbagai situs. Namun kondisi artefak-artefak itu umumnya tidak utuh lagi. Kebanyakan berupa pecahan, jadi para arkeolog sulit melakukan identifikasi. Keramik yang diperoleh dari daratan umumnya berhubungan dengan situs permukiman.
Sebaliknya keramik kuno yang ditemukan di dalam perairan, misalnya dari kapal kargo yang tenggelam, umumnya dalam kondisi utuh. Bahkan dalam himpunan temuan sehingga lebih mudah diidentifikasi. Paling-paling pada keramik terdapat karang atau agak tercemar karena ratusan tahun berada di dalam air asin. Keramik dari dalam air berhubungan dengan rute-rute pelayaran.
Dilihat dari pertanggalan, keramik yang ditemukan di Nusantara ada yang berasal dari abad sebelum masehi. Yang termuda dari abad ke-20.
Menurut Ibu Widiati, keramik sebagai data arkeologi ada yang berupa pecahan, ada pula berupa utuhan. Dari keramik-keramik itu bisa diketahui bentuk, asal daerah/negara pembuat, dan masa pembuatan (tarikh). Â Dalam arkeologi, keramik merupakan artefak bertanggal mutlak. Artefak lain yang dianggap bertanggal mutlak adalah mata uang dan prasasti.
Dalam keramik, lanjut Ibu Widiati, terkandung lima unsur, yakni bentuk, bahan dasar, glasir, hiasan, dan jejak-jejak pembuatan.
Nah, begitulah bagian pertama dari tulisan ini. Kalau terlalu panjang, pasti Kompasianer bosan membacanya. Ikuti bagian selanjutnya pada tulisan mendatang.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H