Seorang rekan pernah memperlihatkan beberapa foto patung batu berujud manusia dari Lembah Bada di Sulawesi Tengah. Ukuran patung cukup tinggi, lebih dari satu meter. Lembah Bada merupakan bagian dari Taman Nasional Lore Lindu.Â
Bentuk patung tersebut cukup sederhana, namun usianya sudah terbilang tua. Ada puluhan patung berdiri di sana. Dari kacamata arkeologi disebut patung megalitik (mega = besar, litik = batu). Diperkirakan patung-patung itu didirikan untuk pemujaan kepada leluhur.
Untung saja saya pernah mendapat kiriman buku Tapak Waktu Mega Situs Kawasan Lore Lindu dari seorang rekan arkeolog, Mas Faiz. Buku itu terbitan Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo, 2018. Setelah saya baca-baca, cukup menarik isinya.
Lore Lindu merupakan kawasan situs megalitik terluas di Asia Tenggara. Persebaran situs mencapai 118 titik dengan luas kawasan lebih dari 156.000 hektar dengan lokasi di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi. Bayangkan, ada empat lembah dan satu danau di kawasan itu, yakni Lembah Behoa, Lembah Napu, Lembah Bada, Lembah Palu, dan Danau Lindu.
Selain patung manusia, di kawasan Lore Lindu juga terdapat banyak tinggalan monumental seperti kalamba (kubur batu), lumpang batu, umpak batu, kedok muka, batu monolit, dan batu berlubang. Tinggalan-tinggalan itu berusia sekitar 2.000 tahun. Tinggalan yang lebih muda berupa rumah tradisional.
Pertama kali keberadaan situs megalitik Lore Lindu dilaporkan oleh A.C. Kruyt dan N. Adriani pada 1898. Sejak itu banyak peneliti Amerika dan Eropa tertarik mendalami kepurbakalaan di Lore Lindu. Tulisan yang agak panjang disampaikan oleh Walter Kaudern pada 1927-1944. Ia menulis rinci sampai enam volume.
Mengingat Lore Lindu berisi tinggalan adiluhung, maka pemerintah melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo melakukan upaya pelestarian. Hal ini terkait wacana menjadikan kawasan Lore Lindu sebagai warisan dunia melalui UNESCO. Â Â
Pelestarian dan penelitian arkeologi di kawasan Lore Lindu tentu saja berjalan bersamaan. Penelitian dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Sulawesi Utara.Â
Tadi pagi, Senin, 7 Desember 2020 Balai Arkeologi Sulawesi Utara menyelenggarakan webinar bertajuk "Kawasan Megalitik Lore Lindu: Potensi, Penelitian, dan Pengembangannya".Â
Kegiatan itu dihadiri oleh Kepala Balai Arkeologi Sulawesi Utara Bapak Wuri Handoko dan Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Bapak I Made Geria, yang sekaligus memberikan pengarahan.
Pak Geria mengungkapkan betapa tradisi masa lalu itu bersifat menyapa alam. "Kita dituntun untuk menjaga alam. Masyarakat zaman dulu lebih familiar dalam menjaga bumi," kata Pak Geria. Selanjutnya Pak Geria mencontohkan konsep Tri Hita Karana, bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan dan lingkungannya. Juga dalam mengangkat nilai-nilai kearifan untuk memproteksi alam atau bumi.
Ternyata banyak temuan kecil terdapat di kawasan itu, sebagaimana diuraikan Ibu Dwi Yani Yuniawati dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, di antaranya manik-manik dan wadah tanah liat. Kemungkinan besar artefak-artefak itu bagian dari bekal kubur.
Menurut Ibu Dwi Yani, penelitian di situs tersebut terkendala infrastruktur. Dalam arti jalan menuju lokasi penelitian amat jelek, apalagi bila musim hujan tiba.
Pembicara selanjutnya Pak Daud Aris Tanudirdjo mengungkapkan pelestarian cagar budaya untuk kepariwisataan. Soalnya, menurut Pak Daud, umumnya warisan budaya tidak disikapi sebagai sumber daya pembangunan tetapi semata-mata sebagai kebanggaan, jati diri bangsa, dan kajian akademis. Bahkan sering kali kegiatan pelestarian dianggap sebagai hambatan dan beban pembangunan. Â
Pak Daud juga melihat di banyak tempat warisan budaya sudah terbukti mampu mengangkat masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih sejahtera.Â
Apalagi menurut Pak Daud, telah terjadi pergeseran kebutuhan manusia, dari bahan, barang, dan jasa menjadi pengalaman yang mengesankan. "Masyarakat ingin tahu pengalaman yang melepaskan manusia dari rutinitas dan modernitas. Keaslian dan kekhasan suasana yang diciptakan warisan budaya berpotensi memenuhi kebutuhan tersebut," katanya.
Dikemukakan oleh Pak Daud bahwa pariwisata memang dilihat sebagai potensi yang paling mudah untuk dikembangkan. Namun banyak kasus menunjukkan dampaknya sering kali sangat buruk bagi kelestarian budaya dan alam.
Masalah manajemen juga penting, demikian Pak Daud. Ia mencontohkan bagaimana kalau Candi Borobudur ditutup mendadak sementara para wisatawan tidak diberi pemberitahuan. Tentu wisatawan akan kecewa terutama karena mereka datang dari jauh.
Yang terpenting, katanya, sasaran wisata berkelanjutan di warisan budaya adalah pelestarian lingkungan, pelestarian budaya, peningkatan ekonomi, dan hubungan sosial baik untuk mencapai kesejahteraan semua.
"Warisan budaya menjadi bagian dari wisata yang melestarikan lingkungan, bukan mengubah lingkungan. Berwisata harus juga melestarikan budaya dan menyejahterakan komunitas, bukan justru menghancurkannya. Jangan tinggalkan apa pun kecuali jejakmu," demikian Pak Daud memberikan gambaran.
Tentang kawasan Lore Lindu, menurut Pak Daud, ada beberapa keunggulan yang ada di sini, yakni unsur alam dan budaya yang khas, keadaan yang relatif masih lestari, dan kehidupan masyarakat yang menjaga harmoni dengan alam.Â
Dengan demikian mampu menciptakan suasana yang berbeda dan berpotensi besar untuk wisata minat khusus dengan nuansa petualangan. Terutama dengan muatan pendidikan serta pelestarian alam dan budaya.
Menurut Pak Daud, pengembangan pariwisata bukan berarti harus ada pembangunan fisik yang berlebihan. Cukup kembangkan dan manfaatkan fasilitas setempat untuk membentuk suasana yang khas. Beliau mencontohkan pariwisata Bali.
Di sana pengembangan fasilitas pariwisata tidak terkendali, misalnya kelestarian alam dan budaya menjadi rentan, pengembangan infrastruktur mengancam keaslian dan keterpaduan lanskap, dan banyak pihak tidak mendapatkan manfaat yang sama sehingga menimbulkan kekecewaan. Pariwisata harus mempertahankan tradisi sebagai pendidikan budaya bagi generasi muda dan pengunjung, begitu Pak Daud mengingatkan.
Menurut Pak Daud kita harus belajar dari Dong Dimen Ecomuseum di Tiongkok. Tanpa mengubah kehidupan adat tradisi dan suasana desa, penduduk Dong Dimen justru mendapat begitu banyak kunjungan.
Mereka menyambut tamu dengan tradisi, memiliki penginapan tradisional yang bersih dan sehat, bahkan bagi peneliti disediakan tempat bernuansa tradisional juga. Sebagai ganjaran, mereka banyak memperoleh penghargaan internasional.
Kata Pak Daud, jika perlu tambahkan unsur modern sebagai pilihan. Misalnya teknologi Outdoor Virtual Reality atau Augmented Reality. Ini penting untuk meningkatkan pengalaman sekaligus mengenalkan alan dan presentasi rekonstruksi kehidupan masa lampau di Lore Lindu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H