Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ternyata R.A. Kartini Pernah Menulis "Aku Anak Buddha" dan Memiliki Kakak Angkat Seorang Tionghoa

13 November 2020   12:36 Diperbarui: 13 November 2020   12:43 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama Udaya Halim tentu tidak bisa lepas dari Museum Benteng Heritage. Beliau pendiri museum itu. Museum Benteng Heritage yang berdiri pada 11-11-2011 merupakan hasil restorasi sebuah bangunan berarsitektur tradisional Tionghoa, yang diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-17.

Itulah salah satu bangunan tertua di Tangerang. Nama Benteng menempel pada nama museum karena di situlah dulu kota Benteng terbentuk. Saat ini Museum Benteng Heritage beralamat Jalan Cilame No. 20, Pasar Lama, Tangerang.

Pak Udaya Halim dengan latar bagian dalam Museum Benteng Heritage (Foto: makalah Pak Udaya)
Pak Udaya Halim dengan latar bagian dalam Museum Benteng Heritage (Foto: makalah Pak Udaya)
Ulang tahun ke-9

Rabu lalu, Museum Benteng Heritage menyambut hari jadinya yang ke-9.  Dalam masa pandemi ini, perayaan ditandai dengan acara webinar budaya Tionghoa bertopik "Sejarah Asal Usul Kwepang dan kaitannya dengan Budaya Jawa". Selain Pak Udaya, turut menyemarakkan acara Pak Peter Carey, Pak Didi Kwartanada, dan Mas Didik Nini Thowok.

Pak Udaya menceritakan asal-muasal ia membeli rumah berarsitektur Tionghoa itu. Ia tergerak untuk turut berpartisipasi aktif melakukan penyelamatan situs-situs budaya yang masih tercecer agar tidak punah sama sekali sehingga mengakibatkan kita menjadi bangsa yang miskin dengan peradaban atau mengalami 'amnesia sejarah'.

Museum Benteng Heritage menyimpan dan memamerkan banyak hal unik di balik sejarah kehidupan etnik Tionghoa serta berbagai artefak yang menjadi saksi bisu kehidupan masa lalu, mulai dari kedatangan armada Cheng Ho (Zheng-he) dengan rombongan yang terdiri atas sekitar 300 kapal jung besar dan kecil membawa hampir 30.000 pengikutnya. Sebagian dari rombongan ini yang dipimpin oleh Chen Ci Lung diyakini sebagai nenek moyang penduduk Tionghoa Tangerang (Cina Benteng) yang mendarat di Teluk Naga pada 1407. Banyak lagi pernak-pernik Tionghoa peranakan ada di museum ini.

Mas Didik Nini Thowok bercerita tentang kwepang (Foto: tangkapan layar metro tv)
Mas Didik Nini Thowok bercerita tentang kwepang (Foto: tangkapan layar metro tv)
Tradisi Kwepang

Selanjutnya Pak Udaya mengisahkan tentang tradisi Kwee Pang atau Kwepang. Tradisi Kwepang identik dengan "merawat anak orang lain dan diperlakukan bagaikan anak kandung". Tradisi ini juga dikenal pada agama/budaya lain. Biasanya kalau anak sakit, ciong (kurang selaras berdasarkan shio) dengan orang tua, atau bernasib kurang baik, maka orang tua melakukan ritual kwepang. Si anak kadang diganti namanya, misalnya Gobang, Talen, dan Pengki. Ritual kwepang tak ubahnya adat Jawa, misalnya mengganti nama anak menjadi Idup atau Slamet karena sakit-sakitan di masa bayi.  

Sebagai pakar yang menggeluti sepak terjang Pangeran Diponegoro, Pak Peter ikut berbicara soal ganti nama. Ternyata Diponegoro pada masa kecil bernama Raden Mas Mustahar. Ia hidup bersama kakeknya.

Mas Didik Nini Thowok kemudian memberikan testimoni. Didik Hadiprayitno, begitulah nama lahirnya, dikenal sebagai penari dan koreografer. Ia memiliki nama Tionghoa Kwee Tjun An. Karena pada masa kecil ia sering sakit, maka orang tuanya mengganti nama dengan Kwee Peng An. Peng An bermakna selamat atau senang, dengan harapan ia akan hidup selamat dan senang.  

Pasti banyak orang belum tahu kalau R.A. Kartini, pahlawan wanita yang paling sering disebut buku sejarah, pernah di-kwepang ke Dewi Makcoh di Welahan. Makanya ia pernah menulis surat berjudul 'Aku Anak Buddha'. Seorang anak lelaki Tionghoa juga pernah di-kwepang ke ayah Kartini.  Jadilah ia kakak angkat Kartini. Demikian uraian singkat Pak Didi Kwartanada.

Nusantara kita begitu beragam dengan adat dan tradisi. Semoga kebinekaan tetap terawat dengan baik. Begitu juga adat, budaya, dan tinggalannya. Museum harus menjadi tempat keharmonisan itu.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun