Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Karena Wabah Penyakit di Batavia, Pusat Pemerintahan Pindah ke Weltevreden (Sekitar Lapangan Banteng)

22 Oktober 2020   17:32 Diperbarui: 23 Oktober 2020   21:41 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trem dan berbagai transportasi di Weltevreden (Foto: tembak layar dari makalah mbak Vivin)

Berbicara masa lalu Jakarta, kita tidak bisa lepas dari nama Batavia. Bahkan lebih khusus Oud Batavia atau Batavia Lama. Nama Batavia dikenal selama bertahun-tahun. 

Lokasi Batavia di kawasan Jakarta Kota sekarang, ditandai dengan adanya Stadhuis atau Balaikota, yang sekarang menjadi Museum Sejarah Jakarta. Binnenland, begitulah istilah untuk kawasan di dalam tembok Batavia. Di luar itu disebut buitenland atau luar kota.

Kota Batavia semakin lama semakin hancur. Beberapa bangunan pernah dibakar dan dirusak. Lambat laun Batavia ditinggalkan, apalagi sejak adanya wabah penyakit di sana.

Selanjutnya Daendels memindahkan pusat pemerintahannya ke luar kota. Lokasinya di sekitar Lapangan Banteng sekarang. Dulu disebut Waterlooplein dan pernah ada patung singa di sana. Di daerah ini Daendels mendirikan istananya. Sekarang tempat itu menjadi kantor Kementerian Keuangan.

Dulu tempat itu masih berupa rawa. Pemiliknya bernama Anthony Paviljoen, sehingga dinamakan juga Paviljoenved. Setelah tanah itu dibeli oleh Cornelis Chastelein, namanya diganti menjadi Weltevreden. Pada 1697 Chastelein membangun rumah dengan dua buah kincir angin.

Chastelein-lah yang memberikan nama Weltevreden. Mungkin karena ia weltevreden atau  'benar-benar puas' ketika mengembangkan perkebunan kopi. 

Sejak itu banyak pejabat pemerintah Belanda, karyawan perusahaan, dan orang-orang Tionghoa kaya bermukim di Weltevreden. Di Weltevreden daerah pemukiman bumiputera dan penduduk miskin terletak jauh di luar jalan-jalan yang keadaannya kurang memenuhi syarat kesehatan.

Pada 1733 seorang tuan tanah, Justinus Vinck, membeli tanah luas Weltevreden lalu membuka Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen.  Pada 1749 Gubemur Jenderal Jacob Mossel membangun landhuis Weltevreden. 

Saat ini landhuis tersebut menjadi kompleks RSPAD Gatot Subroto dan Gedung STOVIA (Museum Kebangkitan Nasional) di Jalan Abdul Rachman Saleh.

Begitulah kisah singkat Weltevreden, topik yang didiskusikan pada acara daring Museum Kebangkitan Nasional, "Weltevreden dan Jakarta Kini". Narasumbernya Mas A.J Susmana (Budayawan/Pemerhati Sejarah) dan Mbak Vivin Sri Wahyuni (Pemerhati Kota). Moderatornya Mas Dhanu Wibowo dari Museum Kebangkitan Nasional. Kegiatan diskusi dibuka oleh Kepala Museum Kebangkitan Nasional Pak Agus Nugroho.   

Trem dan berbagai transportasi di Weltevreden (Foto: tembak layar dari makalah mbak Vivin)
Trem dan berbagai transportasi di Weltevreden (Foto: tembak layar dari makalah mbak Vivin)
Perkotaan

Weltevreden kini menjadi Batavia Baru. Pada abad ke-19 Batavia Baru dikenal sebagai Ratu dari Timur. Begitu kata Mas Susmana.

Beliau menemukan informasi berbentuk syair karya Mas Marco Kartodikromo yang dimuat di Sinar Djawa pada 10 April 1918. Potongan syair itu berisi tentang 'penjara di Weltevreden'. 

Nah, di manakah letak penjara itu? Mungkinkah penjara Glodok? Tentu memerlukan penelitian lebih lanjut. "Mas Marco adalah murid dari Tirto Adhi Soerjo, seorang siswa dari STOVIA," kata Mas Susmana.

Dalam makalahnya mbak Vivin mengatakan bahwa sekitar 60 persen penduduk Indonesia akan tinggal di daerah perkotaan. Berarti adanya arus urbanisasi. Dulu Jakarta sepi, kini ramai dan padat. Dulu kendaraan jarang, kini kendaraan melimpah. Begitu mbak Vivin menggambarkan.

Menurut mbak Vivin, problematika Jakarta bisa dilihat dari tingkat-tingkat dalam istilah perkotaan. Saat ini Jakarta menjadi kota metropolis, berarti kenampakan struktur ruang kota sudah berkembang cukup besar. 

Pengaruh kota sudah terasa hingga daerah sekitarnya sehingga banyak ditemukan kota satelit atau daerah penyokong kota utama. Di atasnya ada megalopolis, berarti perilaku manusia hanya berorientasi materi. Jangan sampai kita menjadi tiranipolis (awal kehancuran suatu kota) dan nekropolis (kota kematian).  

Mengingat sebagian besar penduduk kota, terutama Jakarta, adalah masyarakat menengah ke bawah, mbak Vivin berharap pemerintah mulai memikirkan transportasi massal yang aman dan nyaman. 

Transportasi massal itu berupa bus TransJakarta yang jumlahnya cukup banyak dan waktu kedatangannya cepat, terutama pada jam kerja. Juga kereta api, mengingat sebagian pekerja berdomisili di luar Jakarta.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun