Sumber sejarah kuno yang dianggap penting adalah prasasti. Sejak lama di Indonesia ditemukan banyak prasasti berbahan batu dan logam. Umumnya prasasti berkenaan dengan politik, seperti pemberian tanah kepada sebuah desa karena masyarakat desa itu berjasa buat kerajaan.
Ada juga prasasti yang berkenaan dengan utang-piutang atau sengketa tanah. Bahkan prasasti tentang manipulasi, perkara perdata, dan sumpah/kutukan.
Umumnya prasasti di Indonesia bertarikh abad ke-5 hingga ke-15. Prasasti-prasasti itu dikeluarkan atas perintah raja atau pejabat di sebuah kerajaan. Prasasti dari setiap kerajaan kuno memiliki ciri tersendiri.
Bahasa dan aksara yang digunakan pada prasasti kebanyakan Jawa Kuno. Mereka yang pakar membaca prasasti disebut epigraf atau ahli epigrafi.
Lempeng pertama dan ketiga bertuliskan 3 baris kalimat di satu sisinya, sementara lempeng ke-2 bertuliskan 3 baris kalimat di kedua sisinya. Aksara dan bahasanya Jawa Kuna.
Inilah cuplikan isi prasasti. Karena sudah berusia ratusan tahun, ada beberapa aksara kurang jelas terbaca sehingga diberi tanda khusus.
1.//swasti sakawarsatita // i saka//1338//
2. sama?kana diwasa ni lebu talampakanira ri talo
3. nan. hanimbal warukira ba?ara ri paguhan. sa? li
Terjemahan:
1.//Selamat tahun Saka yang telah berlalu [swasti sakawarsatita]// pada tahun Saka [i saka]// 1338//
2. pada saat itulah duli paduka yang berasal dari Talonan [sama?kana diwasa ni lebu talampakanira ri talo
3. nan], mengambil alih sebidang tanah dengan cara membeli dari [hanimbal warukira] Ba?ara di Paguhan, yang dimakamkan [sa? li
Lihat isi lengkap prasasti [di sini].
Prasasti tersebut memuat angka tahun 1338 Saka, kalau dikonversi ke tahun Masehi bertarikh 4 September 1416, singkatnya abad ke-14. Beberapa epigraf telah membahas prasasti itu, yakni  F.D.K. Bosch, L.Ch Damais, J. Noorduyn, Boechari, dan A.S. Wibowo.
Saat ini Prasasti Paguhan menjadi koleksi Museum Nasional dengan nomor inventaris E.60.
Epigraf Trigangga pernah membahas prasasti ini dalam media sosial. Tujuannya untuk memberi informasi kepada masyarakat umum dan peminat masa lampau. Trigangga adalah arkeolog yang bekerja di Museum Nasional. Awal Januari 2020 lalu beliau meninggal dunia.
Format isinya mirip sekali dengan format isi kuitansi zaman sekarang. Nilai uang disebut dua kali, dengan bilangan dan angka. 'Kuitansi' itu dilengkapi "paraf" dari penerima uang tersebut.
Beliau memberi ilustrasi begini:
"Sudah terima dari para 'angucap gawe' di Gedong Dingdiwa sejumlah uang untuk pembayaran sebidang tanah untuk kepentingan Bhatara di Paguhan yang meninggal di Pramalaya. Jumlah uang 200.000 (dua ratus ribu) kepeng banyaknya. Tertanggal 13 paroterang, bulan Asuji, 1338 Saka (4 September 1416 M). Tertanda: Sang Kawasa".
Nah, menarik kan informasi dari masa lampau. Dari ratusan prasasti yang sampai kepada kita, banyak prasasti tidak bisa dibaca sama sekali karena sudah aus dan ada pula yang hanya bisa dibaca sebagian karena ada batu yang pecah atau logam yang berkarat. Kalau mau tahu cerita tentang prasasti, silakan klik di mesin pencari "prasasti djulianto kompasiana". Banyak tulisan prasasti terdapat di sana.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H