Dulu kalau tenggorok kita agak gatal biasanya orang-orang tua menyuruh kita untuk mengunyah kencur. Kalau kita masuk angin, sering kali kita dikerok memakai bawang merah dengan minyak kayu putih.Â
Bahkan, setelah itu diberi minum air hangat dari campuran jahe dan gula merah. Pernahkah Anda ke dokter gigi? Nah, sering kali dokter menggunakan minyak cengkeh karena dipercaya berfungsi menahan rasa sakit.
Begitulah, masyarakat kita masih percaya khasiat rempah-rempah. Belum lagi penjual jamu gendong yang berkeliling atau pedagang jamu yang mangkal di kaki lima selalu laris karena disukai masyarakat.Â
Apalagi di awal-awal masa pandemi, semua jamu dan rempah-rempah laris dibeli masyarakat karena diyakini bisa menambah imunitas tubuh.
Dalam sejarah pun rempah-rempah dikenal luas. Mumi raja-raja Mesir Purba yang kini berusia ribuan tahun, diyakini diawetkan menggunakan rempah-rempah dari Nusantara. Banyak negara Eropa datang ke Nusantara karena tergiur komodisi cengkeh, pala, dan lada dari beberapa daerah di Nusantara.
Popularitas rempah sangat luar biasa. Untuk itulah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) DI Yogyakarta bersama Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemdikbud pada Kamis, 8 Oktober 2020, menyelenggarakan diskusi daring bertopik "Meramu Rempah-rempah untuk Kesehatan".Â
Pada diskusi daring dipandu oleh Bapak Albertus Sartono dari Rumah Budaya Tembi dengan narasumber Ibu Suyami (Balai Pelestarian Nilai Budaya DI Yogyakarta), Prof. Mustofa (UGM), dan GKR Bendara (Keraton Yogyakarta).
Menurut Ibu Suyami, jejak penggunaan rempah-rempah untuk kesehatan ada pada beberapa naskah kuno di Jawa. Ada 277 macam rempah yang dikenal pada naskah, antara lain Serat Centhini.Â
Naskah itu populer pada masa 1700-an, pada masa yang lebih muda informasi kesehatan terdapat pada beberapa serat.Â