Sejak masyarakat mengenal HP atau ponsel, muncullah ragam bahasa baru, yakni bahasa SMS. Bahasa SMS cenderung dipersingkat dari bahasa aslinya. Bahkan muncul kata-kata baru yang sebelumnya tidak dikenal, baik dari bahasa Indonesia, bahasa daerah maupun bahasa asing.
Dalam bahasa SMS, misalnya, muncul kata gw dan lo. Gw bermakna gue/gua atau saya. Lo bermakna elo/elu atau kamu. Penggunaan kata gw dan lo jelas meringankan tugas jari yang mengetik. Untuk kata-kata yang agak panjang, antara lain kita mengenal sewjrx (sewajarnya), otw (dari kata on the way = dalam perjalanan), kepo, dan btw.
Sekarang soal menulis. Kalau kita mengunakan pensil atau pulpen, kesalahan tulis tentu akan mudah dikoreksi. Nah, bagaimana kalau kita menulis pada benda-benda keras seperti batu dan logam?
Masyarakat Nusantara pada abad ke-5 hingga ke-15 mengenal cara menulis pada batu dan logam. Banyak prasasti batu dan logam tersimpan di dalam museum. Prasasti menggunakan bahasa kuno dan aksara kuno, seperti Jawa Kuno, Bali Kuno, Melayu Kuno, dan Sunda Kuno.
Namanya pemahat atau penulis prasasti, tentu bukan manusia sempurna. Mungkin ada kesalahan tulis yang mereka lakukan. Sebagai benda keras, tentu tulisan atau pahatan tersebut sulit dikoreksi. Lalu apa yang mereka lakukan?
Ada yang membiarkan karena cuma kesalahan kecil. Ada yang merusak aksara yang salah, lalu memahatkan lagi aksara yang benar pada bagian atas. Hal-hal seperti itu ditemukan pada beberapa prasasti.
Bisakah masyarakat masa sekarang membaca tulisan seperti ini, "Hair ini saya sedagn membca Kompasaina"? Pasti bisa, paling tidak mengerti maksudnya meskipun ada kesalahan tulis. Masyarakat zaman dulu pun begitu, setidaknya mengerti atau mampu membaca tulisan pada prasasti.
Sejumlah kata dalam prasasti tidak selalu dipahatkan secara lengkap. Bayangkan, bagaimana tangan akan pegal kalau ditulis panjang. Maka pemahat prasasti zaman dulu menyingkat kata-kata yang sudah umum dikenal masyarakat.
Kita lihat contohnya pada Prasasti Lintakan. Prasasti ini berbahan logam dan bertahun 841 Saka atau 919 Masehi. Sekarang prasasti ini disimpan di Museum Nasional Jakarta.