Di kerajaan Mataram Hindu bahkan pernah ada sekelompok orang yang sering mengganggu keamanan (samahala). Â Bentuk kejahatan lain diinformasikan Prasasti Kamalagyan (1037 M) berupa upaya sabotase. "...Ada sekelompok orang hendak menghancurkan bendungan yang baru saja selesai dibangun. Padahal pembangunan waduk itu dilakukan dengan swadaya masyarakat dan campur tangan raja...," demikian cuplikannya.
Kita belum tahu pasti hukuman kepada pelaku pidana tersebut. Â Secara sepintas Prasasti Wuatantija (880 M) mengatakan mereka dikenakan denda. Â Prasasti Waharu II (929 M) menyebutkan hukuman berupa kutukan. Mereka disumpahin agar kakinya terantuk ranjau busuk, mati busung (perut membesar), menemui lima kesengsaraan (pancamahapataka), menderita sakit ayan, dan mendapat malu.
Kutukan dan sumpah juga dikeluarkan Prasasti Wukayana (angka tahunnya sudah rusak). Barang siapa berani mengusik sima di Wukayana, ibarat kepala ayam yang telah putus dari badannya dan tak akan kembali lagi; ibarat telur yang hancur lebur, tak akan kembali utuh lagi; bila orang tersebut pergi ke hutan agar dipatuk ular; bila pergi ke ladang agar disambar petir meskipun tidak hujan; dan bila datang ke sungai agar dibelit binatang air. Unik yah, hukuman kala itu.
Para pelaku pidana lain adalah mereka yang melakukan anjarah (merampok), Â anumpu (orang yang membunuh sepasang suami isteri di waktu malam untuk dirampas harta bendanya), dan ambaranang (orang yang membakar rumah-rumah di suatu desa dan penghuninya yang lari ke luar dibunuh).***
Sumber bacaan:Â
- Boechari, Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, 2012.
- Trigangga dkk, Prasasti dan Raja-raja Nusantara, 2015.
- Trigangga dkk, Prasasti Batu, Pembacaan Ulang dan Alih Aksara, 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H