Ia mengemukakan pula, penelitian sejarah berbasis kesusastraan sudah dilakukan sejak bertahun lalu. Contohnya penelitian tentang naskah Nagarakretagama dan Pararaton.
Keinginan dan dorongan itu disampaikan Djoko saat peluncuran dan diskusi buku karyanya, Refleksi Penelitian Epigrafi dan Prospek Pengembangannya. Auto dan filoepigrafi, begitu ia menyebutnya. Kegiatan tersebut berlangsung pada 2018 sekaligus menyambut purnatugas Djoko sebagai dosen UGM.
Pada 2015 Djoko sempat mendatangi Prasasti Kedulan. Namun ia sulit membacanya karena hurufnya kecil, berdempet-dempet dan patah juga.
Satu di antara kontribusi besar Djoko bagi penulisan sejarah kuno, ia berhasil membaca Prasasti Wanua Tengah lll. Prasasti tersebut ditemukan di Temanggung, menyebutkan secara rinci urutan penguasa Mataram Kuno sejak Rakai Sanjaya, lengkap dengan periode kekuasaannya. Prasasti itu dibuat oleh Sri Maharaja Dyah Balitung Darmodayyamahasambu (bertakhta sejak 898 Masehi).
Namun pertanggalan prasasti tersebut dikoreksi oleh Trigangga, epigraf dari Museum Nasional. Ia menuliskannya dalam Jurnal Berkala Arkeologi (Tahun XIV, 1994). Soalnya, kata Trigangga, sebelum ini ditemukan Prasasti Wanua Tengah I dan Wanua Tengah II. Trigangga juga sudah meninggal dunia pada awal 2020 lalu.
Djoko pernah menjabat Kepala Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta. Juli lalu ia baru saja dilantik menjadi Ketua Dewan Kebudayaan DI Yogyakarta.
Dalam waktu beberapa tahun saja, kita kehilangan tiga orang epigraf senior. Saat ini masih tersisa Dr. Ninie Susanti di Jurusan Arkeologi UI, Dr. Tjahjono Prasodjo di Jurusan Arkeologi UGM, dan Dr. Titi Surti Nastiti di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Semoga muncul epigraf-epigraf muda.***