Dunia arkeologi kembali kehilangan lagi seorang pakar. Jumat, 18 September 2020, Dr. Djoko Dwiyanto meninggal dunia. Djoko adalah seorang ahli membaca dan menerjemahkan prasasti atau populer disebut epigraf. Sebagian besar kariernya didedikasikan sebagai tenaga pengajar di Jurusan Arkeologi UGM. Ia lahir pada 1953.
Djoko lulus dari Jurusan Arkeologi UGM pada 1979. Sebagai arkeolog muda, ia memilih bidang epigrafi. Ketika itu ia berguru kepada seniornya di UGM, Riboet Darmosoetopo. Juga kepada seniornya di Balai Arkeologi DI Yogyakarta, M.M. Soekarto Karto Atmodjo dan dosen Epigrafi di Jurusan Arkeologi UI, M. Boechari.
Kalau berbicara prasasti, tentu kita akan menyebut nama-nama orang asing seperti F.H. van Naerssen, N.J. Krom, F.D.K. Bosch, L. Ch. Damais, dan J.G. de Casparis. Mereka memang para perintis epigrafi Indonesia. Namun mereka hadir pada zaman baheula.
Djoko mulai cinta prasasti saat mengadakan penelitian arkeologi. Soalnya, selain penemuan benda, ia selalu berhadapan dengan tulisan kuno. Karena tidak ada yang paham tentang Bahasa Jawa Kuno, banyak prasasti di Indonesia justru dibaca dan diterjemahkan orang asing. Lihat [di sini]
"Jadi saya pikir, saya harus bisa, biar enggak tergantung orang lain," demikian pernah dikatakan Djoko kepada Merdeka.Â
Tingkat kesulitan membaca aksara Jawa Kuno dalam prasasti pun membuatnya semakin tertantang. Berbekal bimbingan dari guru-gurunya tadi, Djoko mulai merintis karier sebagai Epigraf pada 1982. Saat ini sepeninggal Djoko, di UGM tinggal seorang epigraf senior, Tjahjono Prasodjo. Â
Sepanjang pengalamannya membaca dan menerjemahkan prasasti, menurut Djoko suatu ketika, ia paling sulit mengartikan Prasasti Rukam di Temanggung. Prasasti itu terbuat dari lempengan tembaga. Uniknya, tulisan Jawa Kuno ditulis bolak-balik dalam satu lempeng. "Kayak nulis di buku, di sisi sebaliknya membekas jadi sulit dibaca," kata dia.
Prasasti Rukam pernah dibaca oleh Richadiana Kartakusuma, epigraf wanita dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Beberapa tahun lalu Richadiana meninggal dunia di Jakarta. Kalau Boechari dikenal sebagai 'epigraf pemberi nama bayi', maka Djoko dikenal sebagai 'epigraf penentu hari jadi sebuah daerah'.
Menurut Djoko, pembacaan prasasti kuno tidaklah semata hanya menerjemahkan teks, namun juga si epigraf harus menggunakan pengalaman dan pemahaman diri sendiri supaya nantinya dinilai peneliti lain.Â